Friday, January 19, 2018

Akhir-Akhir Ini

Akhir-akhir ini.

Rasanya aku sudah utuh, tidak lagi merasa seperti seonggok daging bernyawa. Berputar-putar dengan limbung mencari ujung nyawanya. Aku, utuh. Sebagai seorang manusia yang tau bahwa semuanya memang harus diperjuangkan. Maaf, nduk aku menceritakannya di sini.

Akhir-akhir ini.

Rasanya belum cukup untuk melepaskan semuanya dan menjadi amat semrawut, tapi sebuah mantra tidak akan sukses dirapal apabila Dukun itu tidak punya ketenangan ketika ia dan mulut bau cengkehnya itu merapalkan mantra-mantra. Dukun itu tau, dia bukan laut dalam yang harus terus menerus bergemuruh untuk memberitahu dia amat tenang di dalamnya. Dia bukan laut, untuk apa terus menerus bergemuruh apabila memang tidak semua orang butuh gemuruhnya.

Akhir-akhir ini.

Sering melihat betapa kepedulian kadang tidak semenyenangkan itu. Aku tidak ingin kau pedulikan, ibuku saja, yang memberiku makan tidak melarangku. Kamu polisi, ya? Berkata ini salah juga itu salah. Aku tidak makan uang pajakmu, keparat, kalau mau peduli, urusi saja yang duduk di senayan sana. Ritualku bukan sesuatu yang harus kamu ikuti, maka jangan ganggu, ya, si dungu yang merasa paling pintar.

Akhir-akhir ini.

Menyenangkan ketika melihat tatapan kosong seseorang yang sedang sakratul. Umur panjang itu kutukan, ya? Kamu harus tau bagaimana rasanya hidup dengan orang yang masih merasa punya urusan di dunia padahal sudah renta, urusannya pun malas menemuinya. Kasihan. Aku mau mati umur lima puluh tahun. Semoga bila nanti berisitri, istriku mati sendiri, amit-amit apabila nanti istriku mati yang menemaninya adalah jompo berusia delapan puluh tahun yang dengannya istriku bersumpah mencintainya seumur hidup, sialan, kan cinta seumur hidupnya adalah aku.

Akhir-akhir ini.

Bunyi-bunyi gaduh itu perlahan hilang, iya, bunyi-bunyi gaduh yang biasa ada di kepalaku. Suaranya mulai memudar. Rasakan, kamu salah pilih korban. Terjadi setelah aku mulai memaafkan diriku, padahal usiaku baru memasuki dua puluh tahun, memang tindakan apasih yang bisa membuatku merasa amt bersalah dengan diriku?

Akhir-akhir ini.

Puan sering menemuiku, kami lancar. Duh aku takut apabila harus bertemu orang yang membesarkannya. Dengan hidupku saja aku masih suka ngaco, nanti kalau dia minta aku harus bertanggung jawab dengan puan, mana bisa? Tidak apa, memangnya di umur dua puluh tahun dia sudah punya apa? Duh aku jadi meracau, tenang tuan, kamu tenang saja, aku tau ini anak perempuan yang amat kau kasihi, sama aku juga mengasihinya. Jadinya, kamu harus tenang dan mencoba percaya dengan pilihan anakmu, ya. Aku tidak mau sesumbar bahwa pilihannya tidak salah, aku cuma kepingin kamu tau bahwa pun aku amat mengasihinya.

Akhir-akhir ini.

Tersadar bahwa membesarkan anak itu sulit, apalagi kamu sendirian dan seorang perempuan. Sulit. Makanya, aku tidak ingin mengecewakan siapapun, terutama kamu yang telah mengurusiku dari jabang bayi, memang laki-laki yang satu itu amat keparat. Tenang, aku bukan dia, nanti kelak apabila aku sudah punya banyak uang, ayo kita jalan-jalan, dulu kita berjanji untuk ke semarang kan? Nanti biar aku tepati, ya. Kamu tinggal ikut saja, jangan pusing urusan uang, kamu bukan Peruri kok. Ma, aku tidak pernah ingin mengecewakanmu.

Akhir-akhir ini.

Berkomunikasi dengan semesta jadi menyenangkan, ekspansi ruang dan waktu yang ia lakukan bukan bohong. Juga, semesta suka mendengarkan cerita, entah, mungkin dia hanya bisu hingga tidak membalas. Tapi aku  tidak peduli, yang penting aku bisa bercerita tanpa malu.

Akhir-akhir ini, juga.

Yang aku jalani bukan suatu kesialan, aku tau, semuanya harus diperjuangkan. Hal-hal yang aku pegang karena aku mengetahui mengapa aku harus memegangnya, pilihan yang aku pilih karena aku ingin. Semuanya, harus diperjuangkan dan memang pantas untuk diperjuangkan.

Semoga, di saat terakhirku.


Aku paham kenapa aku harus usai.