Akhir-akhir ini.
Rasanya aku sudah utuh, tidak lagi merasa seperti
seonggok daging bernyawa. Berputar-putar dengan limbung mencari ujung nyawanya.
Aku, utuh. Sebagai seorang manusia yang tau bahwa semuanya memang harus
diperjuangkan. Maaf, nduk aku menceritakannya di sini.
Akhir-akhir ini.
Rasanya belum cukup untuk melepaskan semuanya dan
menjadi amat semrawut, tapi sebuah mantra tidak akan sukses dirapal apabila
Dukun itu tidak punya ketenangan ketika ia dan mulut bau cengkehnya itu
merapalkan mantra-mantra. Dukun itu tau, dia bukan laut dalam yang harus terus
menerus bergemuruh untuk memberitahu dia amat tenang di dalamnya. Dia bukan
laut, untuk apa terus menerus bergemuruh apabila memang tidak semua orang butuh
gemuruhnya.
Akhir-akhir ini.
Sering melihat betapa kepedulian kadang tidak
semenyenangkan itu. Aku tidak ingin kau pedulikan, ibuku saja, yang memberiku
makan tidak melarangku. Kamu polisi, ya? Berkata ini salah juga itu salah. Aku
tidak makan uang pajakmu, keparat, kalau mau peduli, urusi saja yang duduk di
senayan sana. Ritualku bukan sesuatu yang harus kamu ikuti, maka jangan ganggu,
ya, si dungu yang merasa paling pintar.
Akhir-akhir ini.
Menyenangkan ketika melihat tatapan kosong seseorang
yang sedang sakratul. Umur panjang itu kutukan, ya? Kamu harus tau bagaimana
rasanya hidup dengan orang yang masih merasa punya urusan di dunia padahal
sudah renta, urusannya pun malas menemuinya. Kasihan. Aku mau mati umur lima
puluh tahun. Semoga bila nanti berisitri, istriku mati sendiri, amit-amit
apabila nanti istriku mati yang menemaninya adalah jompo berusia delapan puluh
tahun yang dengannya istriku bersumpah mencintainya seumur hidup, sialan, kan
cinta seumur hidupnya adalah aku.
Akhir-akhir ini.
Bunyi-bunyi gaduh itu perlahan hilang, iya,
bunyi-bunyi gaduh yang biasa ada di kepalaku. Suaranya mulai memudar. Rasakan,
kamu salah pilih korban. Terjadi setelah aku mulai memaafkan diriku, padahal
usiaku baru memasuki dua puluh tahun, memang tindakan apasih yang bisa
membuatku merasa amt bersalah dengan diriku?
Akhir-akhir ini.
Puan sering menemuiku, kami lancar. Duh aku takut
apabila harus bertemu orang yang membesarkannya. Dengan hidupku saja aku masih
suka ngaco, nanti kalau dia minta aku harus bertanggung jawab dengan puan, mana
bisa? Tidak apa, memangnya di umur dua puluh tahun dia sudah punya apa? Duh aku
jadi meracau, tenang tuan, kamu tenang saja, aku tau ini anak perempuan yang
amat kau kasihi, sama aku juga mengasihinya. Jadinya, kamu harus tenang dan
mencoba percaya dengan pilihan anakmu, ya. Aku tidak mau sesumbar bahwa
pilihannya tidak salah, aku cuma kepingin kamu tau bahwa pun aku amat
mengasihinya.
Akhir-akhir ini.
Tersadar bahwa membesarkan anak itu sulit, apalagi
kamu sendirian dan seorang perempuan. Sulit. Makanya, aku tidak ingin
mengecewakan siapapun, terutama kamu yang telah mengurusiku dari jabang bayi,
memang laki-laki yang satu itu amat keparat. Tenang, aku bukan dia, nanti kelak
apabila aku sudah punya banyak uang, ayo kita jalan-jalan, dulu kita berjanji
untuk ke semarang kan? Nanti biar aku tepati, ya. Kamu tinggal ikut saja,
jangan pusing urusan uang, kamu bukan Peruri kok. Ma, aku tidak pernah ingin
mengecewakanmu.
Akhir-akhir ini.
Berkomunikasi dengan semesta jadi menyenangkan,
ekspansi ruang dan waktu yang ia lakukan bukan bohong. Juga, semesta suka
mendengarkan cerita, entah, mungkin dia hanya bisu hingga tidak membalas. Tapi
aku tidak peduli, yang penting aku bisa
bercerita tanpa malu.
Akhir-akhir ini, juga.
Yang aku jalani bukan suatu kesialan, aku tau,
semuanya harus diperjuangkan. Hal-hal yang aku pegang karena aku mengetahui
mengapa aku harus memegangnya, pilihan yang aku pilih karena aku ingin.
Semuanya, harus diperjuangkan dan memang pantas untuk diperjuangkan.
Semoga, di saat terakhirku.
Aku paham kenapa aku harus usai.