Wednesday, September 30, 2015

Kretek: Budaya Atau Bahaya

Beberapa hari belakangan, lini masa twitter gue sedikit banyak yang me-retweet artikel seputar kretek. Yang gue baca tentu yang kontra dengan kretek, karena, sebagai perokok gue punya argumen sendiri.

Dari beberapa artikel, poin yang gue temui rata-rata sama, "Bagaimana bisa benda yang merusak dijadikan kebudayaan." ya gimana ya, kan emang terkadang budaya gak selalu baik, menurut lo aja.

Ada wacana juga menaikan harga rokok sampai 85%, sebelumnya mari kesampingkan argumen "trus para buruh tembakau mau makan apa?!" itu argumen jadul banget, ayo lebih inovatif.

Dan untuk sekedar informasi, harga tembakau kering hanya dihargai 1.200-2.000 rupiah per-kilogram. Itu untuk daerah Jogjakarta, untuk daerah lainnya gue gak tau, tapi menurut gue gak lebih dari 5.000 rupiah, bisa dilihat dari harga tembakau kering per-1/4kilo bisa didapat dengan harga 4.000-6.000 rupiah.

Mungkin ada yang nanya, terus kenapa rokok harganya bisa sampe 14.000-20.000 rupiah? Itu harga rokok dengan filter putih, bukan kretek, dasar antek kapitalis. Bagian antek kapitalisnya bercanda, aha.

Gue gaada masalah untuk kenaikan harga rokok, dengan beberapa kompensasi. Turunkan harga makan-makanan sehat, mudahkan akses mendapat makanan sehat, dan masih seputar itu. Wacana menaikan harga rokok berdasar karena pemerintah ingin anak muda yang sehat, jadi ya seperti tadi, naikan harga rokok, turunkan harga makanan sehat.

Jika tidak, gimana anak muda bisa sehat kalo yang murah cuma harga mi instan?

Mari kita sedikit gali lebih dalam, konsumen rokok biasanya remaja, orang-orang dengan penghasilan menengah ke bawah, serta beberapa orang yang sudah siap menghadapi bahayanya. Survey Riset kesehatan dasar (riskesdas) pertahun 2013, perokok dengan umur 15 tahun ke atas mencapai 36.6%, juga data GATS menunjukan 67% laki-laki indonesia merokok, which is yang paling banyak sedunia. Entah ini harus bangga atau malah mawas diri, saya juga bingung.

Kembali lagi, kretek ini emang budaya sih, gue sendiri pernah nyobain kretek, bisa bikinnya pula. Kretek itu rokok paling gampang dibuat, punya tembakau kering, cengkeh bubuk, sama kertas papir. Jadi deh. Yang mau sok-sok save kretek, ya mending coba dulu mbikin kretek, ya kalo gak bisa, minimal udah nyobain samsu deh.

Gue sih tipikal orang yang suportif sama kebijakan pemerintah, jika kebijakan itu membawa kebaikan, bukan hanya untuk kalangan eksekutif, kalangan menengah ke bawah juga ikut merasakan kebaikan itu.

Naikan harga rokok? Gak masalah. Tolak pasal tentang kretek di uu kebudayaan? Gak masalah. Tanpa memberikan kompensasi apapun? Ini masalah.

Kadang budaya itu gak selalu baik, tradisi juga begitu.

Jika pemerintan mau menaikan harga rokok dengan alasan menginginkan generasi muda yang sehat dan cerdas, mereka juga harus suportif kepada generasi muda. Semacam win-win solution. Pemerintah senang, generasi muda senang.

Atau, naikan harga rokok, legalkan ganja. Itu juga win-win solution. Tapi terlalu ekstrem, sih. Jadi, ya, turunkan harga makanan sehat.

Saya pribadi, sebagai perokok, setuju jika pemerintah menaikan harga rokok. Tapi apa pemerintah siap memberi kompensasi atas kenaikan harga rokok jika nanti para perokok mengajukan petisi yang berisi tuntutan mereka?

Menurut anda?

Perokok setengah matang, Kevin Jordanus.

Friday, September 25, 2015

Harga Sebuah Didikan

Semua manusia sudah seharusnya memiliki kemampuan berpikir. Apa yang baik dan apa yang buruk. Tindakan apa yang membawa kebaikan dan tindakan apa yang membawa keburukan.

Tapi, jangan lupa. Baik dan buruk itu masalah perspektif saja.

Setelah kalimat pembuka yang apik, ada baiknya gue minta maaf karena minggu lalu gak nulis apa-apa, even tulisan fiksi. Maaf, ya.

Yang baik menurut gue baik belum tentu menurut orang lain juga baik, juga sebaliknya, apa yang menurut gue buruk belum tentu menurut orang lain juga buruk.

Ini semua masalah didikan dan pedoman-pedoman yang diberikan dan dari mana manusia mencari atau diberikan pedomannya.

Gue besar di keluarga yang gak kristen-kristen banget dan juga bukan dari keluarga yang harmonis dan lengkap. Yah pokoknya gitu, gue merasakan figur bapak hanya sampai umur 6 tahun.

Gue belajar dari mana aja, bukan, ini bukan masalah pelajaran di bangku sekolah. Gue belajar dari pengemis sampai orang-orang yang memiliki hidup berkecukupan, dari pendosa hingga pemuka agama.

Dan itu membuat gue menjadi orang yang open-minded. Bohong, dalam beberapa hal gue cukup keras kepala.

Gue suka berpikir dengan dasar "bagaimana jika". Sangat filsuf, halah.

Dan hal yang gue pikirkan beberapa hari belakangan adalah, bagaimana jika orang orang memiliki pri-kemanusiaan yang baik.
Menurut gue, gaakan ada yang namanya status sosial yang kontras antara si miskin dan si kaya. Gaakan ada perang. Gaakan ada hal buruk.

Karena semuanya berdasarkan nurani, dan sepemikiran gue pula, nurani setiap orang sama dalam membedakan yang baik dan buruk.

Lalu kenapa sekarang orang memiliki dasar yang berbeda-beda tentang konsep baik dan buruk?

Kembali lagi tentang didikan dan pedoman yang diberikan.

Orang-orang yang besar di medan perang, memikiki harga damai yang berbeda dengan orang-orang yang besar di negara yang aman.

Orang-orang yang besar di negara dunia ketiga, memiliki harga kenyang yang berbeda dengan orang-orang besar di negara dunia pertama.

Harga sebuah keadilan untuk orang-orang yang terbiasa dengan birokrasi kotor dan licik juga berbeda dengan orang-orang yang terbiasa dengan birokrasi yang bersih dan jujur.

Semua baik dan buruk, itu hanya masalah didikan dan pedoman.

Tapi, jangan lupa ada zona yang gue beri nama zona abu-abu. Zona yang gak baik juga gak buruk.

Seperti, memberikan uang kepada pengemis. Menurut hukum itu ilegal, tapi menurut masyarakat itu suatu hal yang baik.

Juga, merokok dengan meminta izin, beberapa daerah menetapkan ada beberapa kawasan yang harus bebas rokok. Tempat ibadah, lingkungan sekolah, RS, dan lain-lain. Tapi bagaimana jika perokok meminta izin terlebih dahulu? Lagi, ini zona abu-abu, bung.

Zona abu-abu ini terkadang, jika tidak dilakukan benar dan jika dilakukan tidak apa-apa, berlaku sebaliknya, jika tidak dilakukan tidak apa-apa jika dilakukan benar.

Zona abu-abu ini masih konsepsi dasar saya sendiri sih. Masih banyak cacatnya.

Yah, pada akhirnya kembali lagi tentang didikan.

Apa yang diberikan ke dalam kepala, juga akan memiliki pengaruh ke pola pikir.

Baik dan buruk hanya masalah perspektif dan itulah harga sebuah didikan.

Salam hangat, Kevin Jordanus.

Wednesday, September 9, 2015

Aturan Nomor Satu.

Enaknya jadi orang-orang beragama, for christ sake, orang beragama itu enak banget.

Gue kristen dari lahir, Tuhan gue Yesus, gue mengakui keberadaan Tuhan dan percaya adanya surga.

Tapi, untuk beberapa alasan rasanya aneh mengatasnamakan Tuhan karena manusia tidak mampu. Dalam beberapa kasus, hal ini sering terjadi.

Bahkan Dewa 19, dalam lagunya, Atas Nama Cinta, ada lirik yang seperti ini, "atas nama cinta saja// jangan bawa nama Tuhan..." maksud gue, Ahmad Dhani yang ngetweet mau potong penis kalo Prabowo gak jadi presiden masih punya akal sehat, sedikit.

Mengatasnamakan Tuhan karena ketidakmampuan diri sendiri, gue gak punya kata yang pas untuk orang-orang kayak gini, bahkan tolol aja gak cukup hina untuk mendefinisikan mereka. Maaf.

"Gue gak masuk PTN nih, padahal udah belajar keras, doa mulu." Itu mah lo aja yang goblok.

"Gue gak bisa main instrumen apapun nih, bahkan rekorder sama pianika. Padahal gue udah latian sama berdoa." Itu mah lo aja yang gak punya sense of music, FYI, gue bisa main rekorder kalo nada dasarnya do=C.

"Kok dia gak mau sama gue ya? Padahal gue udah deketinnya udah lama. Padahal gue udah bawa nama dia di doa gue." Itu mah dia emang gak tertarik sama lo, atau lo emang gak menarik.

Jangan salah paham sama gue, gue percaya sama kuasa doa. Tapi untuk beberapa kasus, coba pake akal sehat deh.

Ada beberapa contoh terkadang doa itu gak berhasil, seperti, doa 7 hari 7 malem, disiarkan di tv nasional dan kemudian percaya nilai tukar dollar akan turun. Gitu.

See, kadang lo butuh usaha, kadang lo juga butuh tau limit lo sampe mana. Jangan sampe udah sok-sok 'break the limit.' terus gak bisa, terus nyalahin Tuhan. Maaf, bukan nyalahin Tuhan, mengatasnamakan Tuhan atas ketidakmampuan diri sendiri. 

Untuk kasus yang gak bisa dipahami akal sehat lo, coba bikin re-search kecil-kecilan. Masih gak ngerti? Mungkin emang otak lo kekecilan, maaf, sel-sel otak lo fungsinya gak bagus.

Maksud gue adalah, jangan coba pahami hal yang gak mau lo pahami, apalagi udah sok-sok mau paham tapi ujungnya ngomong, "emang Tuhan maunya begini.", biji kuda.

Karena aturan nomor satu adalah, jangan pernah mengatasnamakan Tuhan untuk ketidakmampuan diri sendiri.

Sisa aturan lainnya? Jangan menyalahkan siapapun dan apapun.

Best Regards, Kevin Jordanus.

Saturday, September 5, 2015

Portofolio.

Di mohon kesediaannya buat komen, monggo.

Gue gak pake pylox... terakhir gue ngepylox hasilnya ancur, beneran ancur. Gue pake cat exterior, alat yang gue pake, uhm, rahasia pabrik. Ehe.

Tuesday, September 1, 2015

Jatuh Cinta

I fall in love way too easy. *sigh*

Gue pertama kali jatuh cinta tuh waktu umur gue 5 tahun, pas lagi nonton Captain Tsubasa. Gue langsung jatuh cinta sama apa yang gue tonton, dan sampe sekarang gue masih jatuh cinta tiap ketemu goresan aksennya Yoichi Takahasi, entah di anime atau komik. Waktu itu juga gue mulai ngegambar, belajar ngegambar.

Urusan jatuh cinta sama cewe, ada beberapa, tapi gak seberapa, gue rasa jatuh cinta gue sama komik dan sastra lebih gede ketimbang jatuh cinta sama cewe. *another sigh*

Pertama kali gambar gue mendingan, ya baru akhir-akhir ini aja. Soalnya baru akhir-akhir ini gue nemu gaya yang pas sama kemampuan tangan gue. Bayangin, dari umur 5 tahun, gambar gue baru mendingan pas gue menjelang 18 tahun. Lama juga gue jatuh cinta sama dunia gambar-menggambar ini.

Dan jatuh cinta di dunia gambar ini gak murah, makanya gue milih buat main di warna hitam putih. Bukan main di banyak warna, apalagi banyak jenis pewarna. Bisa gak makan gue kalo gue nekat main warna selain hitam putih. Niatan mah ada, tapi, know when to fold is important as never give up. Gue lupa itu kalimat siapa.

Sama kayak dunia gambar, dunia sastra juga gak murah. Iya, soalnya gue gak suka roman yang isinya cuma dialog kayak yang suka dishare di line. *sigh, again.*

Pertama kali gue nyoba baca selain buku pelajaran dan komik waktu kelas 3, buku pengetahuan umum gitu. Karena bahkan gue baca komik mulai dari gue lancar baca, kelas 1 sd kalo gak salah. Kemudian gue menemukan novel Harry Potter, buku pertama, gua coba baca. Kepala gue meleduk. Gak kuat. Itu buku ketebelan. Gue vakum baca novel sampe kelas 8 smp, trauma ringan tiap ketemu novel yang ketebalan. Shame on you, J.K. Rowling.

Koleksi novel gue gak sebanyak koleksi komik gue. Koleksi komik gue itu lebih dari 100 buku ada kayaknya. Gue gak ngitungin juga. Ada juga beberapa buku karya ilmiah gitu, dikit banget, sebuku kalo gak salah. *pardon my bad jokes, sigh.*

Sama aja sih, sayang sama orang juga gitu. Butuh waktu, butuh uang, butuh ngorbanin beberapa hal. Mungkin masih ada orang bodoh yang ngorbanin semua hal buat orang yang dia sayang, gapapa. Bukan urusan gue.

Ada trauma-trauma ringan karena hal yang dicintai itu wajar. Kayak gue yang trauma tiap ketemu novel yang ketebelan. Tapi ya jangan karena trauma kecil itu malah bikin gak mau mencinta lagi. Halah.

Namanya juga jatuh cinta, yang namanya jatuh kan pasti sakit, gitu.

Lagian, orang lemah macem apa yang mau terus-terusan hidup dalam trauma? Hidup situ drama?

Drawing stuf and books do not hurt me, but hurt my wallet, real bad. Ya, real bad. But dear, you hurt my feelings real bad. *take a deep breath, do another sigh.*

Orang yang lagi seneng berdehem, Kevin Jordanus. *do sigh, properly.*