Sunday, October 18, 2015

Resah

Beberapa penulis sering bilang kalau tulisan terbaik akan keluar jika penulis menuliskan keresahannya dengan jujur. I am not really into those words, but somehow i can understand it.

Keresahan adalah teman terbaik setelah pengalaman dan rasa sakit hati.

Menurut gue pengalaman masih jadi hal dengan nilai jual paling tinggi, masih banyak orang dengan jemawa memaparkan pengalaman-pengalamannya dengan rasa percaya diri yang tinggi, ya, gue juga begitu.

Sampai di satu titik, gue merasa pengalaman gue biasa aja. Masih berkesan, tapi rasanya tidak untuk dipublikasikan.

Kemudian rasa sakit hati, dalam beberapa kasus gue merasa rasa sakit hati ini jadi teman yang paling akrab dengan gue, bahkan gue bisa sakit hati jika makanan gue tumpah. Sakit hati gue sesederhana itu.

Karena, jika bahagia bisa sederhana, kenapa sakit hati juga gak bisa sederhana? Jangan overrated kalimat bahagia itu sederhana.

Lagi, akhirnya gue udah sampai di titik tidak ada gunanya menyuarakan rasa sakit hati, lebih baik disimpan sendiri, dan membiarkan sakit hati itu sembuh oleh waktu

Tidak ada yang lebih buruk dengan berharap ada orang yang peduli dengan rasa sakit hati milik pribadi.

Ada penggalan lagu dari One OK Rock yang gue suka, dari lagu Memories di album 35xxxv.

"So better you stop searching for miracle it's bad enough than nobody helps"

Gue pribadi gak suka jika hal pribadi gue dicampuri oleh orang lain, jadi gue gak mengijinkan orang lain mencoba memahami sakit hati gue yang sifatnya pribadi.

Lalu keresahan. Sama seperti sakit hati, keresahan gue juga sederhana, sesederhana gue yang resah ketika menyadari jika alfabet itu gak dimulai dari z atau f? Atau sesederhana ketika gue resah mendengar orang dengan broken languange-nya.

Ya, gue tipikal orang yang mikirnya sederhana, sederhana banget.

Dan sampailah gue ke keresahan yang bikin resah banget. Resah akan agama gue.

Lo pernah mikir gak sih kalo agama itu ciptaan manusia?

Segala tata cara ibadatnya, hukum-hukum dan aturannya, bahkan sampai hari raya. Itu semua ciptaan manusia yang dilabeli "Diwahyukan oleh Tuhan." Sanggah saja jika salah, tapi kebanyakan seperti itu.

Maka dari itu, gue gak begitu suka konsep agama, ada garis tipis antara kebenaran dan ego.

Gue bukan tipikal pemeluk agama yang baik, orang-orang yang kenal gue di SMA pasti gaakan percaya gue masih pergi ke tempat ibadah. Begitu sebaliknya, orang-orang yang kenal gue di tempat ibadah gaakan percaya gue suka nongkrong pas SMA.

Dan, ya, gue percaya Tuhan, tapi gak suka konsep agama.

Tapi ini pembelaan gue, semoga tidak banyak yang menggunakan pembelaan ini untuk ajang berbuat dosa

"Mungkin saya bukan orang beragama terbaik yang pernah anda temui, tapi untuk saya pribadi Yesus masih jadi figur yang saya kagumi."

Soalnya, dia bisa minum anggur kapanpun dia mau. Oke, maaf, gue bercanda.

Lalu, satu kalimat lagi dari temen gue, Ribka. Gak seperti gue, dia manusia yang "kudus nggak, tapi jauh dari kata pendosa."

"Religions kill, But God save us."

Begitulah, akhirnya gue menemui keresahan terhebat dalam hidup gue. Setidaknya untuk sekarang itu keresahan terhebat gue.

Gue meresahkan itu lebih dari cara ngebaik-baikin pacar yang lagi ngambek, lebih resah ketika gue harus bersihin telinga dengan sabun mandi atau sabun muka. Bahkan lebih resah dari kenapa gue buang hajat lebih lama dari pada gue mandi.

Tapi percayalah, keresahan terhebat gue gak muncul ketika gue ngeden di kamar mandi.

Gue Kevin Jordanus, ketemu di tulisan berikutnya!

Friday, October 2, 2015

Adiksi

Pernah terbesit di imajimu entah kapan, tentang ketidaksukaanmu pada adiksiku? Tidak? Baik, tidak apa.

Sore di bulan Oktober itu jadi salah satu saksi tentang ketidaksukaanmu. Kita memutuskan untuk ke sebuah tempat yang tidak asing bagi kita, sebuah restoran cepat saji yang bisa ditempuh dengan kaki.

Di momen itu kita sama-sama mengenakan seragam dengan badge bertuliskan alamat sekolah, tapi seragamku dibalut lagi dengan sebuah jaket usang, yang sudah ada jauh sebelum ada kita.

"Boleh gue ngerokok?" Untuk beberapa momen rasanya kata aku terlalu santun.

"Mending kamu buang rokok itu atau aku langsung pulang?" Kamu malah balik bertanya.

Sore itu di restoran cepat saji, ada kita tanpa bau asap campuran kertas papir dan tembakau yang dibakar.

Lagi, sering terjadi di beberapa pagi saat kita masih ada di sekolah yang sama. Lebih tepatnya saat saya masih berseragam.

Sudah jadi kebiasaanku untuk menghabiskan beberapa menit di warung kopi dekat sekolah sebelum akhirnya masuk sekolah, juga aku mengenal warung kopi jauh sebelum kita.

Kemarin malam, kamu berkata bahwa pagi besok kamu ingin berbincang sebelum mengawali kelas, saya mengiyakan ajakanmu.

"Tapi kamu jangan bau rokok, ya." Kalimat itu muncul di layar handphone milik saya sesaat setelah saya mengiyakan ajakanmu.

Lagi, saya mengiyakan permintaanmu.

Pagi itu, kita berbincang singkat. Di wajahmu terbesit senyum singkat setelah kamu menyadari tidak adanya bau rokok dan kopi yang melekat pada seragam saya pagi itu.

Kemudian, beberapa momen ketika kita berbincang setelah usai jam pelajaran sekolah.

Setelah mengakhiri 7 jam yang membebani otak dan perasaan. Kita sering berbincang singkat tentang bagaimana hari itu bagimu dan bagiku. Walaupun jawabanmu tidak variatif malahan terkesan statis.

Sebelum berpisah dari perbincangan mulutmu selalu mengucapkan beberapa patah kata yang diikuti pesan-pesan medis.

"Jangan merokok lagi ya nanti. Langsung pulang aja. Nanti kamu bisa mati kalau terlalu banyak merokok." Katamu siang itu sebelum mengakhiri perbincangan kita.

Betapa bodohnya saya selalu mengiyakan kata-katamu tentang ketidaksukaanmu terhadap adiksiku.

Pernah terbesit di imajimu entah kapan, tentang ketidaksukaanmu pada adiksiku? Tidak? Baik, tidak apa.

Atau setidaknya, pernahkah terbesit di imajimu, entah kapan bahwa adiksiku selama ini bukanlah tembakau dan cengkih yang dibalut oleh kertas papir yang di salah satu ujungnya dilengkapi filter tapi kamu? Tidak? Baik, tidak apa.