Friday, October 2, 2015

Adiksi

Pernah terbesit di imajimu entah kapan, tentang ketidaksukaanmu pada adiksiku? Tidak? Baik, tidak apa.

Sore di bulan Oktober itu jadi salah satu saksi tentang ketidaksukaanmu. Kita memutuskan untuk ke sebuah tempat yang tidak asing bagi kita, sebuah restoran cepat saji yang bisa ditempuh dengan kaki.

Di momen itu kita sama-sama mengenakan seragam dengan badge bertuliskan alamat sekolah, tapi seragamku dibalut lagi dengan sebuah jaket usang, yang sudah ada jauh sebelum ada kita.

"Boleh gue ngerokok?" Untuk beberapa momen rasanya kata aku terlalu santun.

"Mending kamu buang rokok itu atau aku langsung pulang?" Kamu malah balik bertanya.

Sore itu di restoran cepat saji, ada kita tanpa bau asap campuran kertas papir dan tembakau yang dibakar.

Lagi, sering terjadi di beberapa pagi saat kita masih ada di sekolah yang sama. Lebih tepatnya saat saya masih berseragam.

Sudah jadi kebiasaanku untuk menghabiskan beberapa menit di warung kopi dekat sekolah sebelum akhirnya masuk sekolah, juga aku mengenal warung kopi jauh sebelum kita.

Kemarin malam, kamu berkata bahwa pagi besok kamu ingin berbincang sebelum mengawali kelas, saya mengiyakan ajakanmu.

"Tapi kamu jangan bau rokok, ya." Kalimat itu muncul di layar handphone milik saya sesaat setelah saya mengiyakan ajakanmu.

Lagi, saya mengiyakan permintaanmu.

Pagi itu, kita berbincang singkat. Di wajahmu terbesit senyum singkat setelah kamu menyadari tidak adanya bau rokok dan kopi yang melekat pada seragam saya pagi itu.

Kemudian, beberapa momen ketika kita berbincang setelah usai jam pelajaran sekolah.

Setelah mengakhiri 7 jam yang membebani otak dan perasaan. Kita sering berbincang singkat tentang bagaimana hari itu bagimu dan bagiku. Walaupun jawabanmu tidak variatif malahan terkesan statis.

Sebelum berpisah dari perbincangan mulutmu selalu mengucapkan beberapa patah kata yang diikuti pesan-pesan medis.

"Jangan merokok lagi ya nanti. Langsung pulang aja. Nanti kamu bisa mati kalau terlalu banyak merokok." Katamu siang itu sebelum mengakhiri perbincangan kita.

Betapa bodohnya saya selalu mengiyakan kata-katamu tentang ketidaksukaanmu terhadap adiksiku.

Pernah terbesit di imajimu entah kapan, tentang ketidaksukaanmu pada adiksiku? Tidak? Baik, tidak apa.

Atau setidaknya, pernahkah terbesit di imajimu, entah kapan bahwa adiksiku selama ini bukanlah tembakau dan cengkih yang dibalut oleh kertas papir yang di salah satu ujungnya dilengkapi filter tapi kamu? Tidak? Baik, tidak apa.

No comments:

Post a Comment