Thursday, August 27, 2015

Yang Harus Diubah Dari Bangsa Ini. (4)

Akhirnya sampe juga di penghujung Agustus, yang artinya gue ternyata bisa juga bikin seri tulisan. Sebulan penuh coy, sebulan! Total sama post ini ada 7 post yang gue tulis di bulan Agustus ini. 3 tulisan lainnya gak masuk seri tulisan ini. Indonesia Butuh Komedi Cerdas, Merindu, dan Someone Who is In The Other's Arm. Itu gak termasuk seri tulisan ini, iyalah judulnya aja beda.

Oke udahan nyombongin hal standar seperti nulis 7 biji tulisan yang biasa banget.

Beberapa hari lalu indonesia ngerayain ulang tahun yang ke-70, tapi masih banyak orang yang gak pede sama Indonesianya. Gak pede sama apa yang dimiliki bangsanya.

Sampe sekarang gue masih sering mendapati orang-orang yang ngetik pesan dengan kalimat yang disingkat seenak jidat. Lebih parah, ngegunain tanda baca gak pada tempatnya. Gue dulu masuk golongan kayak gitu, iya, pas jaman hape gue esia, jelaslah gue nyingkat pesan yang gue kirim, satu karakter satu rupiah, cuy. Ngirit.

Di era ngirim sms udah dihitung per sms yang dikirim, kurang-kuranginlah nyingkat kata seenak jidat. Atau, di era yang di mana app pengirim pesan udah banyak banget, dari BBM sampe Line yang udah pake kuota, kurang-kuranginlah nulis kalimat pake tanda baca yang gak tepat dan janganlah pake angka untuk pengulangan.

Juga beberapa orang yang gak paham nulis kata 'di' sebagai imbuhan atau sebagai kata penghubung. Ekstremnya gini,

"Gue lagi di ewe", artinya si gue sedang berada di tempat yang bernama ewe.

"Gue lagi diewe", yah silakan simpulkan sendiri.

Dan kata sepenglihatan dan pengamatan gue, masih banyak orang yang lebih pede dengan titel sarjana bahasa asing ketimbang bahasa indonesia. Ya sepenglihatan gue aja sih.

Karena berbahasa yang baik dimulai dari hal-hal kecil. Seperti dua hal tadi yang gue tulis. Gak masalah sih kalo lo gak mau ngerubah cara berbahasa lo, tapi suatu saat pasti lu butuh berbahasa yang baik, berbahasa dengan bahasa indonesia yang baik dan benar, tentu.

Ya silakan komentar tentang cara berbahasa gue di blog gue, atau di mana aja lo liat gue dengan tulisan gue. Tapi ya berkomentarlah dengan bahasa yang baik dan benar, gue nulis apapun soalnya susah loh, bahkan tweet yang isinya cuma 140 karakter.

Kalo lo masih sering ketuker kalo nulis di ewe sama diewe. Mending jangan komentar dulu, ya. :)))

Bukan mahasiswa Sastra Indonesia apalagi ahli kesusastraan, Kevin Jordanus.

Someone Who is In The Other's Arm

Didekikasikan untuk orang-orang yang pernah atau sampai sekarang masih ada di hidup saya. Untuk orang-orang yang pernah memiliki cerita bersama saya, entah siapapun anda, yang mungkin pernah bertemu di suatu tempat tanpa mengenal nama satu sama lain atau yang sudah mengenal satu sama lain.

Untuk setiap memori yang pernah saya dan anda alami, yang mungkin membekas sampai sekarang atau bahkan hanya dianggap bagian dari masa lalu yang tidak ingin diulangi dan tidak ingin diingat.

Terima kasih, anda.

Thanks for being there
To be there in my brightest day
Or even
In my most gloomy day

Thanks for loving me
Even though i am bad
Even though i make you sad too often
Even though i do not see your effort

Thanks for accepting me
Accepting me as a lover
As a friend
Or even
Accepting me as an enemy

Last but not least

Thanks for everything
For fullfilling my day
Thanks for everything which we've done together
Thank you, someone who is in other's arms.

Friday, August 21, 2015

Yang Harus Diubah Dari Bangsa Ini. (3)

Banyak orang Indonesia yang suka komentar, apa aja dikomentarin. Mulai dari cara hidup orang sampe headline berita.  Semuanya dikomentarin. Mari kita sebut golongan ini Si Jari Cepat.

Tenang ini bukan tulisan sok nasionalis, ini masih dari keresahan gue yang beberapa bulan belakangan ini mencuat begitu aja dari batin dan sanubari. Halah.

Gue dulu juga masuk golongan itu, yang apa-apa komentar, yang apa-apa sok kontra, padahal belum tau isi dari hal yang gue komentarin. Sekarang gue udah tobat, bukan gue gak jadi gak ngomentarin, masih, cuma komentar gue datang setelah tau isi permasalahannya. Jadi gue gak cuma tau kulit permasalahannya, gitu.

Nah, kebanyakan orang Indonesia maaih banyak yang asal komentar, yang penting keliatan keren ngomentarin banyak hal, padahal gak tau isinya apa. Jujur sih gue kasian sama orang yang begitu.

Mari kita kerucutkan masalah Si Jari Cepat ini, komentar mereka tentang headline artikel berita. Berita apa aja.

Gue pernah nemu headline dari akun @TIME di twitter. Headlinennya gini "Green Tea Cigar is Now a Thing", yang langsung ada di kepala gue itu rokok rasa green tea. Trus gue langsung pengen nge-quote tweet itu dengan kalimat ini, "Tuhkan, sekarang semua greentea. Dari sunlight ampe rokok ada greentea-nya. Monyiet.", untung gue udah tobat, gue buka link artikelnya, gue baca artikelnya. Ternyata cina udah rilis rokok yang bahan dasarnya bukan tembakau, tapi dari daun teh hijau yang dikeringin. Yah mirip-miriplah. Jadilah gue nge-quote tweetnya jadi, "whats wrong with u china." Gitu.

Paham gak bedanya? Belum? Oke ada lagi.

Gue sempet ngeliat juga headline, masih dari twitter, dari akun @mysupersoccer. Itu akun emang rada ngehe sih. Headlinennya gini kalo gak salah, "Rooney Akan Segera Berseragam Everton." Gue mikirnya Rooney bakal hengkang dong dari MU, udah seneng tuh gue, pas gue baca, taunya Everton mau bikin charity match, nah rooney jadi salah satu pemainnya. Ya... gak salah juga headlinenya. Lucunya lagi langsung banyak akun yang mention @mysupersoccer bilang artikelnya ngaco, gue yakin, ini orang belom baca artikelnya.

Seharusnya lo udah paham bedanya.

Sekarang Indonesia udah merdeka 70 tahun, sekarang udah tahun 2015 juga, semoga berkurang deh orang-orang yang masuk golongan Si Jari Cepat atau seenggaknya kita dijauhkan dari Si Jari Cepat. Ada amin?
.
.
.
Aminnya gak masuk sekolah, pak. Oke maafkan humor receh saya. Indonesia butuh humor cerdas, hidup humor cerdas!

Semoga kita dijauhkan, kalo ternyata lo masih masuk golongan itu, cepatlah bertobat. *insert smile emoji here.*

Salam hangat, Kevin Jordanus.

Wednesday, August 19, 2015

Merindu

Malam ini, di mana aku berdiri, aku merindu, merindu tentang kita.

Aku masih ingat bagaimana kita bertemu, imajiku lari tanpa tujuan ketika mataku menangkap wajahmu yang dulu mengenakan seragam. Sungguh, aku rindu pemandangan itu.

Juga bagaimana kita menghabiskan waktu, berbicara tentang kenapa kita bisa bersama, di koridor sekolah, lengkap dengan wajah lusuh setelah seharian belajar. Lagi, aku rindu momen itu.

Tentang janji-janji yang kita keluarkan ketika kita bersama, ketika hormon endorfin dilepaskan secara membabi buta. Sampai 70 tahun ya, katamu waktu itu. You know, i just love the way you tell me your sweetest lie, dear.

Dan caramu mengeluarkan kalimat, ketika jemarimu mendadak dingin ketika kau sedang gugup, atau tentang tanganmu yang sering bergetar tanpa sebab. Juga, senyum dan tawamu. Masih, aku merindu tentang detil sikap dan kebiasaanmu.

Aku, merindu tentang setiap inci tubuhmu, setiap detil gimmick-mu, apapun tentangmu.

Aku, merindumu, merindu tentang kita, yang dahulu.

Saturday, August 15, 2015

Yang Harus Diubah Dari Bangsa Ini. (2)

Setelah minggu lalu udah ada post dengan judul yang sama, gue kepikiran untuk nerusin judul ini sampai akhir Agustus nanti. Sebulan penuh dengan judul yang sama, ini kali pertama gua bikin seri tulisan kayak gini. Semoga ada bahan observasi yang menarik. Doain aja.

Minggu lalu budaya mengalah, lumayan menarik sih kalo gua baca lagi. Ini gue pede amat ya jadi orang. Minggu ini mungkin lebih ringan, bukan budaya, cuma segelintir sikap orang-orang Indonesia, takut berargumen, takut menyampaikan apa yang ada di pikirannya.

Kebanyakan orang Indonesia takut berargumen, takut argumennya gak diterima oleh masyarakat atau dalam lingkup lebih kecil, takut argumennya gak diterima di kalangan orang yang kenal dengan si pembuat argumen. Satu hal yang gua pengen kasih tau, kebebasan berbicara udah ada aturannya di UUD 1945, udah ada dasar hukumnya. Gak percaya? Silakan cek sendiri UURI No.9 tahun 1998, dijelaskan secara detil 20 pasal, serius, cek aja. Untuk referensi, liat juga UUD pasal 28 tentang kebebasan mengemukakan pendapat, berkumpul dan berserikat.

" Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku." -UURI No.9 tahun 1998, bab 1/ pasal 1/ ayat 1.

Dengan catatan argumen lu tidak mencemarkan nama baik, kalaupun lo pengen menjatuhkan seseorang tapi tetep santai, ganti aja objeknya jadi anonim, gampang toh? Oke ini jangan ditiru, tolong. Ntar kalo ditanya siapa yang ngajarin nyalahinnya gue.

Kenapa harus takut jika udah ada dasar hukum? Oh, takut ada yang ngomong, "gak semua suka argumen lu, bung." oh ya tentu, tapi masih ada yang setuju biarpun sedikit. Ayolah, jangan takut buat mengeluarkan pendapat. Apalagi pendapat lu berbobot atau lebih sederhananya berniat menghibur.

Untuk catatan, ketika mengeluarkan argumen, siap-siap aja ada komentar-komentar 'lucu', tapi santai aja, itu cara dunia ini bekerja. Karena pada dasarnya gak semua orang suka ketika masalahnya disinggung dengan sengaja atau tidak sengaja.

Semoga menjelang kemerdekaan RI yang ke-70 kita dihindarkan dengan orang-orang yang takut berargumen, serta barisan para mantan yang menganggap dirinya mantan tunggal. Bulutangkis kale segala tunggal.

Ijinkan saya mengutip satu kalimat berbahasa inggris yang saya lupa nama yang mengeluarkan kalimat ini.

"If no one hate you, you just done something wrong."

Mungkin ada yang tau siapa?

Pemuda yang tidak pernah takut untuk berargumen (yang dilanjutkan dengan kalimat sarkastik, tentu), Kevin Jordanus.

Saturday, August 8, 2015

Yang Harus Diubah Dari Bangsa Ini.

Agar tulisan ini terkesan berbobot gua pake kata saya sebagai kata ganti orang pertama ya. Iya. Aha, cuma bercanda kok.

Indonesia identik banget dengan orang-orang (yang katanya) baik, ramah, suka menolong dan berbagai macam kebaikan yang sedap dipandang dan enak untuk didengar. Padahal kalau dikaji lebih dalam, ini hasil psikologis dari negara bekas jajahan, iya, merasa rendah di hadapan orang yang superior. Sebut aja, orang kaya, orang yang berpendidikan tinggi, anak kecil, juga nenek-nenek renta. Kenapa ada anak kecil dan nenek-nenek renta? Karena mereka bisa tiba-tiba bisa jadi superior apabila: 1. Si anak kecil nangis jungkir balik, 2. Nenek-nenek renta ini sakit jantungnya kumat, dan berbagai macam contoh lainnya.

Izinkan saya membeberkan beberapa hasil observasi saya.

Indonesia dijajah Belanda 350 tahun, oh tentu itu bukan waktu yang singkat. Tapi yang jelas Belanda menduduki Indonesia lebih dari 350 tahun. Saat pertama kali Belanda dateng ke Indonesia, itu buat nyari rempah-rempah. Jangan bilang gua sok tau, itu ada di buku pelajaran SMP, bahkan SD.

Dan lihat dampak setelah 350 tahun dan 69 tahun setelahnya, orang Indonesia gak punya kepercayaan diri yang tinggi kalo belom mapan, kalo belom punya mobil, kalo belom punya apartmen di agung podomoro land. Rakyat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah jadi minder. Jelas banget, ketara deh pokoknya.

Gua harusnya jadi salah satu orang yang minder itu. Harusnya. Gua cuma tamat SMA, gua masih tinggal di rumah bekas almarhum kakek gua, dulu uang jajan gua pas SMA cuma 25 ribu, termasuk ongkos, uang makan dan tetek bengek yang tiba-tiba sekolah keluarkan. Harusnya gua minder, harusnya gua cuma manggut-manggut sama orang yang lebih kaya dari gua, harusnya.

Dan satu hal yang bisa saya sadari, psikologis rakyat Indonesia yang dulu merasakan jaman penjajahan, turun ke anak cucunya. Menurut gua ini salah satu gangguan kejiwaan, budaya mengalah. Mengalah sama yang lebih kaya, budaya mengalah sama yang lebih tua, mengalah sama yang lebih muda. You name it.

Pakai gua sebagai salah satu contoh kasusnya.

Gua sering pergi naik KRL, gua tau sumpeknya KRL itu gimana, tau banget. Dapet duduk di gerbong yang penuh itu enak banget. Enak banget. Dan beberapa minggu lalu ada kejadian, gua dari stasiun Duri mau ke stasiun Depok Baru. Gua udah dapet tempat duduk, udah enak, udah nyaman. Kemudian ada satu nenek, linglung gitu, di sampingnya ada orang abis ngantor, bapak-bapak. Nah bapak tersebut langsung ngeliat gue, minta gua berdiri biar si nenek ini duduk. Dan ya kelanjutannya gua berdiri, si nenek ini duduk. Tapi sebelum berdiri gua kasih argumen sama bapak ini. Gini bunyinya, "pak maaf. Ini kursi umum, kursi prioritas ada di ujung rangkaian. Hak eksklusif nenek itu ada di sana, bukan di sini." Dan kemudian si bapak jawab, "lu masih muda aja banyak bacot. Udah berdiri aja apa susahnya sih." Dan ya, gua berdiri.

Sebenarnya sih gua bakal dipandang sebagai anak muda yang baik hati apabila gak menyampaikan argumen gua. Tapi inilah bahaya latennya. Orang Indonesia pinginnya dikasihanin.

Gua tau kapan gua harus mengalah. Gua tau persis kapan. Dan jangan suruh gua mengalah untuk hal yang gua gak mau. Dan harusnya, orang Indonesia lainnya juga begitu. Paham di mana dan kapan harus me-klaim haknya, bukan minta dikasihani buat me-klaim haknya.

Banyak budaya yang sekilas terlihat baik, tapi secara gak sadar malah merusak sesuatu yang baik, kasus gua tadi contohnya. You can call me cold hearted, now.

Bahayanya lagi, budaya ini berkembang jadi pola pikir. Yang kalo gak dilakukan bisa membawa rasa bersalah dalam batin. Banyak yang harus diubah di negara ini. Bukan cuma infrastuktur dan ekonomi aja, pola pikir juga sama pentingnya dengan infrastruktur dan ekonomi.

Pahami hal-hal tentang budaya kita yang ternyata itu adalah hasil dari ketakutan masa lalu. Gua gak akan contoh negara maju manapun, tapi satu hal yang gua tau, negara-negara maju itu tau kapan harus melakukan kewajiban dan menagih hak, juga gak terikat dengan kebiasaan-kebiasaan lama.

Bukan mahasiswa dari universitas manapun, Kevin Jordanus.