Sunday, November 20, 2016

Dilepas Aja

Sebenernya dari kecil gue udah pengen banget miara hewan, apapun hewannya. Gue inget hewan pertama yang gue pelihara itu ikan mas koki, mati karena dimakan kucing. Soalnya gue taro di deket gudang di belakang rumah.

Kemudian gue melihara kura-kura brazil, waktu itu gue demen banget nonton Franklin, itu, cerita kura-kura dan teman-teman binatangnya, jadi gue memutuskan buat melihara kura-kura. Ujungnya sama, mati gara-gara kandangnya gue kasih batu, trus dia memanjat batu itu kemudian jatuh, mati.

Gue sempet gak miara apa-apa, gak mau juga sih, sakit hati soalnya tiap ditinggal mati hewan peliharaan.

Sampe akhirnya ada kucing betina dengan warna hitam legam mampir ke rumah gue, dan adik gue kasih makan. Jadilah kucing itu menetap dan beranak pinak di rumah gue.

Tapi akhirnya kucing betina itu pergi, dan meninggalkan satu anaknya yang jantan di rumah gue. Pejantan itu dinamai Kuse, entah artinya apa, tapi enak juga dipanggilnya. Biarpun kalo dipanggil gak nengok sih.

Kemarin pas gue pulang ke Depok, gue nyariin si kuse. Biasanya dia udah tidur di sofa dengan seenaknya. Tapi malem itu dia gak pulang ke rumah.

Gimana ya, dia itu kucing kampung, cemen banget kalo gue kurung di kandang, jadi, ya, gue lepas aja. Biasanya dia pulang ke rumah kalo udah laper atau mau tidur.

Kemudian minggu pagi dia pulang, matanya korengan gitu, kayaknya abis kalah berantem sama kucing lain, biarin, biar dia belajar rasanya sakit gimana. Ya, biarpun gak tega, tapi namanya peliharaan sendiri jadi ya mau sebodoh apapun tindakannya susah buat gak sayang sama dia.

Dalam beberapa kasus juga gitu, namanya sayang sama seseorang gue gak bisa mengharapkan dia selalu ada di dekat gue. Kadang gue harus melepaskan dia untuk hal-hal yang seharusnya dia ingin lakukan. Walaupun ujungnya bisa berakhir bodoh.

Tapi gitu, sayang itu tidak serta merta menggenggam penuh.

Kadang harus dilepaskan, karena gue tau, dia paham kapan harus pulang ke rumah.

Kadang harus ikut merawat karena kesalahan bodoh yang dia lakukan, biarpun gue udah bilang jangan.

Kadang juga harus mendengarkan bagaimana keluh kesahnya tentang hal yang dia lakukan dan berujung fatal, dengan tenang, dengan pengertian.

Eh ini gue ngomongin kucing berasa ngomongin orang. Tapi apa bedanya? Toh rasanya sama, sayang.

Dan ya, sayang tidak serta merta menggenggam penuh dan terkadang memang harus dilepas aja.

Orang yang sedah mengumpulkan biaya berobat peliharaannya, Kevin Jordanus.

Sunday, October 9, 2016

The hole.

Remember about the hole in phase-1? No?

Let me tell you some chessy paragraph, wait no, let me tell you about the hole. The hole that i claim i can't fill it again, the hole with deep dark hatred. Let me tell you.

I do realize that i deserve happiness, just like you. I do realize that my life still going on, just like you. I do realize that i need to get some shit done, just like you. But, you know, i never thought that i could had a butterfly in my stomacth anymore.

I thought, there is no one could gave me a deep warm -what do i call it? Love?-. Well, she does

I know she's not the beautiful girl on the planet, but let me tell you, she became my universe.

She is the strangest thing i've ever met, her sight maybe not the warmest yet the deadliest, but im fine, i know she is a strong woman.

The sound when she talks calm me down from my angery. Her sound pitch just perfectly bring back my mood.

The way she listen to my shitiest talk, is the same way as my mom listen to my shitiest talk. I couldn't ask for more.

The way she hold my hand -i know, i know. Im the one who hold her hand, right?- the way she hug me, the way she put her head on my shoulder, im just fine with those acts. Like, i can not resist those things. No, maybe i just won't resist those things.

Then, lets talk about her presence.

Her presence remind me of my home, the place where i belong. The place where i came after a long-and shit- reckless day. The place that im not faking about myself.

And the most important thing, her presence makes me feel like im already became my true self.

---

I hope, i love her the way she is. I hope, all the things that i write about her is her true self.

I hope, im not falling love with the reflection of her that poped out of my head.

I hope.

She could fill the hole.

The guy who wrote "Phase-1", K. Jordanus.

Tabik!

Sunday, September 25, 2016

1.04.20

Do ever felt really tired but somehow you don't want your body to fall sleep? Well, i do.

21.09.16.

12.11 AM.

Malam itu, untuk sesuatu alasan yang penting saya terpaksa kembali sangat larut dari kampus, tidak apa saya tidak merasa terbebani untuk pulang larut dan sedikit mengorbankan waktu saya untuk sebuah hal yang masif, sebuah karya yang nantinya akan saya kenang sampai mati.

Tubuh saya kaget, sudah jarang sekali pulang selarut itu selama beberapa tahun terakhir, dulu sekali saya pulang larut karena memang saya bermain, bukan membahas sesuatu. Ingin sekali rasanya langsung merebahkan diri kemudian tidur, berharap waktu tidur saya mampu memberi tenaga yang cukup untuk pagi nanti.

Tapi rasanya malam itu ada yang kurang, rasanya ingin membagi cerita tentang tadi kepada seseorang, rasanya pikiran saya tidak cukup bila menampung cerita itu sendiri. Seperti biasa, hanya ada satu orang yang bisa saya hubungi selarut ini, seseorang yang jam tidurnya sudah sama rusaknya dengan saya, malahan mungkin lebih rusak. My kind of 24/7 personal support system.

Rasanya ingin bercerita saja, lewat suara bukan lewat kalimat yang muncul di layar, kurang sopan juga rasanya membuat dia terjaga namun hanya pesan singkat yang dia terima.

Ini kali pertama saya menelfonnya, ada sedikit rasa takut apabila dia menolak, tapi akhirnya saya memberanikan diri.

"Aku telfon ya?"

"Iya."

Secepat itu saya mendapat izin untuk membuatnya tergaja.

Rasanya menceritakan keluh kesah tidak pernah semenyenangkan ini. Juga, rasanya, terjaga sampai larut tidak pernah membuat saya senyaman ini.

Obrolan makin melebar, tapi rasanya mata saya dan tubuh saya sudah sangat merengek untuk diistirahatkan.

Akhirnya obrolan larut malam itu berakhir, senang rasanya, bukan karena obrolan itu berakhir tapi karena ada seseorang yang rela membagi waktunya untuk mendengarkan celotehan di malam yang sudah selarut itu.

Saya mematikan telefon saya, layar handphone saya menunjukan sesuatu.

1 jam 40 menit 20 detik.

Panggilan malam itu, panggilan pertama saya dengannya.

Friday, April 29, 2016

Ghost Stories

Sudah hampir 6 bulan gue gak dengerin album ini, mungkin lebih. Gak ada alasan khusus kenapa gue gak dengerin album ini, cuma lagi gak mood dengerin aja.

Album ini, punya kenangan tersendiri buat gue. Album ini, punya banyak cerita, banyak banget.

Beberapa lirik lagu di album ini jadi selingan di naskah novel gue yang gue gak sentuh ketika udah tinggal sedikit lagi selesai.

Album ini juga jadi starter gimana gue deketin cewe di tulisan kangen.

Banyak banget cerita tentang gue dan album ini, semacam punya ikatan emosional, uhm but not really.

Beberapa malem ini, gue lagi sumuk banget. Mungkin karena efek akhir bulan, tapi gak juga. Atau mungkin karena chapter pertama komik gue yang akan rilis mei nanti, tapi... gak juga.

Ya, cuma sumuk aja. Ingin cari sesuatu yang baru tapi mentok di hal yang itu-itu aja.

Lalu malam kemarin album ini dateng lagi, pas gue lagi sumuk-sumuknya. Mencoba merayu gue untuk mendengarkan lagu-lagunya. Dan gue iyakan, malam itu, gue mendengarkan lagi album ini.

Lalu semua cerita tentang album ini menyeruak, memaksa masuk ke pikiran gue. Semuanya, semua ceritanya.

Gue gak tau, tapi malam itu gue merasa tenang aja. Menikmati lagu demi lagu, lirik demi lirik. Kolase-kolase kenangan itu muncuat di pikiran gue, lalu digantikan dengan kolase yang lain, begitu seterusnya.

Merasa ringan, entah, mungkin memang kangen dengan album ini atau gue emang cuma sedang ingin memutar kenangan dengan album ini.

Lagu demi lagu berganti, waktu memang sedikit konyol. Ketika manusianya merasa bahagia, dia melaju begitu cepat. Sampai akhirnya lagu terakhir di album ini berakhir.

Hening, semua kolase memori itu selesai.

Gue menghela napas panjang, memutar album itu sekali lagi sembari berharap waktu berjalan sedikit lambat.

Semoga waktu memberi kesempatan yang lebih lama untuk gue dan semua kenangan ini.

"You know what? Sudah hampir 2 tahun, tapi gue masih merasa ada kupu-kupu di perut gue."

Jakarta, 29 April 2016.

Tuesday, March 8, 2016

Pilihan Orang Lain.

Jakarta, 8 maret 2016.
17.42 WIB

Gue lagi dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke Depok. Kemudian, seperti biasa otak gue memikirkan sesuatu di kondisi yang tidak nyaman.

Gue rasanya iri sama orang-orang yang mememercayai agama. Rasanya kangen juga, mendapat sesuatu yang mereka yakini memberikan ketenangan batin. Iya, serindu itu.

Juga, memilki sandaran ketika dihadapkan dengan masalah-masalah, mandapat kalimat "udah, serahin ke Tuhan aja. Dia pasti sanggup kok menyelesaikan masalah." Yang jika ada orang yang ngomong gitu ke gue sekarang, mungkin gue akan ketawa dan menganggap itu cuma kalimat template.

Dan momen momen lainnya. Yang kalo dipikir-pikir, mirip juga sama hubungan sama mantan. (Duh)

Gue emang belum lama jadi penganut irreligi. Tapi, thats fit me better than having any religion. Gue gak bilang punya agama buruk, tapi, irreligi jauh lebih baik setidaknya untuk gue.

Gue jadi lebih lega dalam setiap tindakan gue, karena gue melakukan sesuatu bukan untuk mendapatkan surga, dan ketika gue gak melakukan sesuatu bukan karena gue takut neraka. Semua didasari hati nurani dan tentu pertimbangan-pertimbangan yang menurut gue menguntungkan gue.

Jujur, gue paham gimana rasanya ingin kembali memeluk agama.

Tapi, satu hal. Jika gue nanti kembali memeluk agama lagi, rasanya diri gue gak akan sama lagi seperti sebelum menjadi penganut irreligi.

Alasan gue bukan alasan template remaja yang menolak balikan sama mantan, bukan karena gue tau ujungnya akan sama. Tapi karena gue tau, gue gak akan utuh memeluk agama itu.

Lagian, gue gak mau mempertahankan sesuatu yang bukan pilihan gue, gue bukan pemuas ego masyarakat. Gue hanya akan mempertahankan apa yang jadi pilihan gue, im just utilitarian's slave.

Untuk para pemeluk agama, ada catatan yang perlu kalian tau. Ada banyak alasan kuat kenapa gue meninggalkan agama, dan alasan itu lebih kuat daripada tawaran masuk surga bersama dengan salah satu agama.

So, cheers!

Thursday, February 11, 2016

Agama apa MLM?

Gue agak bingung ya, ternyata masih ada beberapa instansi yang masih memasukan politik dalam ritual keagamaan. Entah tujuannya apa, tapi politik dalam agama ini membuat gue resah, banget.

Udah tahun 2016, tapi masih aja ada agama yang memperlakukan umat kayak MLM. Yes, i'm looking at you, samawi religion.

Makin ke sini, kok makin banyak orang yang jadi garis keras beberapa kalangan, pemeluk agama mayoritas makin menjadi-jadi karena mereka -- tentu -- mayoritas. Pun yang minoritas juga punya caranya sendiri, yang lebih halus tapi sifatnya retorikal.

Contohnya, pemberian sejumlah uang atau bantuan ketika ada umat yang menyebrang, dari agama samawi satu ke agama samawi lainnya. Sebegitu butuhnya ya, pengakuan masyarakat bahwa agama samawi ini lebih baik?

Lagi, isi pesan yang disampaikan saat ibadah. Beberapa malah provokatif dan malah mendukung anarki atau terkesan egosentris dengan bumbu ketuhanan.

Apa yang salah sih jika saat membagikan pesan di ibadah tentang kerukunan, toleransi, pentingnya menjaga dunia ini, atau tentang kedamaian antar manusia. Ya, antar manusia, bukan antar umat.

Sebegitu sulitnya? Itu hanya segelintir contoh, sih.

Mungkin bagi beberapa orang lebih mudah menjawab apa agama mereka, apa tuhan mereka, dan siapa nabi mereka. Tuhan mu sebegitu narsisnya? Ugh.

Atau lebih mudah menjawab berapa orang yang sudah masuk ke agama yang dianut. Uhm, ini Tuhan atau agen MLM?

Monday, February 1, 2016

Pekarya dan Rasa Percaya

Beberapa bulan lalu gue sempat berbincang dengan seorang teman, berawal dari hanya sekadar memulangkan barang, topik perbincangan malah jadi melebar ke kiri dan kanan.

Tapi muaranya masih sama, tidak lari, tentang karya dan pekerjanya. Tidak, mungkin lebih sempit, seni dan pekerja seni.

Mulai dari buku, film, musik, sutradara, entah, bahasan kami mungkin terlalu banyak.

Tapi satu yang gue sadari, kami sama-sama memiliki kepercayaan terhadap seorang pekarya.

Jaminan mutu bahwa karya seorang pekarya akan memuaskan batin -untuk gue karya seni lebih dari hanya memuaskan panca indra, sih.

Referensi pribadi gue sih... gue mentok di Eiichiro Oda nih kayaknya. Hahaha

Untuk komik kiblat gue masih ke jepang, oh, ada komikus lokal yang entah gue telat sadar tapi cara dia menyampaikan ceritanya itu khas, mas Sweta Kartika. Musik gue gak terlalu ngulik tapi akhir-akhir ini lagi pengen banget nonton feast manggung, jatuh cinta sama lagu Camkan. Untuk film, gue juga gak snob banget sih, gue nonton ya kalo ada uang aja. Pft. Tidak ada nama sutradara spesial yang filmnya harus gue tonton semua.

Tapi, untuk Coldplay rasanya kepercayaan gue rusak dengan dirilisnya album terakhir mereka. Terkesan seperti memaksakan kebahagiaan. Untuk gue, Coldplay itu sosok yang mampu menyampaikan patah hati. Gue gak bilang nuansa Coldplay gak boleh ingar-bingar, tapi --untuk gue-- coldplay adalah nada-nada minor.

---

Kepercayaan antara pekerja karya dan penikmatnya tidak dibangun hanya semalam. Butuh bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan itu.

Contoh lainnya, gue dan Yoichi Takahasi. Gak peduli berapa banyak serial Captain Tsubasa yang udah ada, gue tetap menikmati karya beliau. Lebih luas, kepercayaan gue terhadap produk yang gue udah gunakan/nikmati sejak lama.

Lo mau baca komik amerika, gue gak masalah baca komik jepang.

Lo mau nulis pake pen mahal pun, gue gak masalah pake pulpen faster.

Lo ios user, gue gak masalah kok jadi android user.

Toh akhirnya memang begitu, kepercayaan memang bukan sesuatu yang murah, itu dibangun dengan sesuatu yang mahal, waktu. Di samping waktu, juga ada tenaga, pikiran, bahkan mungkin darah.

Yah, makanya agak aneh kalau beberapa orang indonesia menganggap kepercayaan sebagai sesuatu yang bisa didapat dengan hanya embel-embel karya anak bangsa... atau jumlah followers.

Gak tau ya, beberapa orang masih ngejar followers padahal gak punya konten yang bagus. Karena sesungguhnya jumlah followers bisa beli, tapi konten itu masalah cita rasa, perasaan dan keresahan yang ingin disampaikan.

Kalau memang bisa membuat gue memberi kepercayaan gue terhadap produk indonesia, gue gak masalah kok pake produk indonesia.

Semoga sisa minggu ini menyenangkan, cheers!

Friday, January 29, 2016

SFTC Dan SO7

Sekitar akhir 2015, gue lagi ngebuka youtube nyari video tutorial entah apa gue juga lupa, kemudian di bagian recomended video muncul chanel Sound From The Corner dengan video ERK x Barasuara.

Karena sedang gak ada kerjaan, isenglah gue nonton. Lha kok ini durasinya lama amat ya hampir satu jam, karena earphone yang gue pake gak nyaman, berhentilah gue di menit 15. Kolaborasi mereka emang juara, entah, gue juga baru pertama kali nonton kolaborasi band.

Malamnya, temen gue ngeshare link yang sama di salah satu sosial media. Temen gue ini selera musiknya memang gak receh-receh banget sih. Jadilah gue nonton video itu, penuh, sampai selesai.

You know what, gue langsung jatuh cinta sama ERK dan Barasuara. Secepet itu, kolaborasi mereka yang gue lihat dari salah satu channel youtube sukses bikin gue jatuh cinta sama mereka.

Karena penasaran, gue langsung buka video SFTC, dan konten mereka emang bagus banget, sangat bagus malah. Kualitas gambar dan suaranya jempolan.

Beberapa minggu lalu, video mereka muncul lagi di recomended video, kali ini sheila on 7.

Band yang sering sekali nongol di Mtv, waktu itu hostnya masih agnes monica sama daniel mananta dan beberapa orang yang gue gak ngeh.

Band yang lagu-lagunya ada pas gue lagi patah hati, iya, SO7 menurut gue mampu menyampaikan pesan dengan lirik yang gak cheesy.

Band yang lagunya jadi bahan obrolan saat gue bareng teman cewek dan gue gak merasa norak karena gue ngomongin band ini, malahan bangga.

Band yang lagunya gue hampir tiap hari gue nyanyiin pas mandi saat SD sampai SMP, bahkan band ini bisa bikin gue akrab sama beberapa teman di SMA.

Juga, lagu-lagu mereka yang gue setel waktu perjalanan ke sekolah dari Depok ke Bogor, hampir 3 tahun penuh.

Sheila On 7 punya magisnya sendiri untuk gue. Gak, gue bukan fanboy Sheila On 7. Tapi lagu-lagu mereka memang relevan untuk gue, dulu dan sekarang, mungkin juga untuk masa yang akan datang lagu-lagu mereka bakal tetap relevan untuk gue.

Dan kemarin malam -saat gue nonton video itu. Sheila on 7 menunjukan bahwa magis mereka belum hilang, di acara Soundrenaline 2015, di GWK, Bali.

Gue hampir merinding di setiap intro, dan ikut menggumamkan lagu-lagu yang mereka bawakan di video itu. Apalagi waktu intro Betapa, ratusan atau mungkin ribuan orang ikut bernyanyi, dan iya gue juga ikut nyanyi di depan layar handphone gue.

Video dari sound from the corner mampu membawa atmosfer malam itu untuk gue, dan sheila on 7 membuktikan bahwa magis mereka tidak hilang.

Kawan sekalian, sambutlah, Sheila On 7 by Sound From The Corner. Cheers!

Sounds From The Corner : Live #17 Sheila On 7