Tuesday, July 28, 2015

Indonesia Butuh Komedi Cerdas

Kesampingkan dulu masalah @dagelandotco yang baru saja meminta maaf beberapa hari lalu karena dianggap melanggar HAKI. Ya, kesampingkan dulu.

Gua sebagai anak laki-laki berumur 17 tahun, merasa beruntung masa-masa kecil gua dihabiskan di tahun 2000. Merasa beruntung aja, 2 televisi swasta waktu itu masih menyiarkan semacam marathon kartun di tiap hari minggu, dan sekarang 2 televisi itu, yang satu menampilkan naga dan satunya lagi menampilkan manusia yang bisa berubah jadi harimau. Ini termasuk degradasi di bidang pertelevisian sih, menurut gua.

Waktu tahun 2000 televisi di indonesia masih gencar menyiarkan film-film dari warkop DKI, biarpun termasuk komedi slapstick, mereka berhasil nunjukin bahwa komedi slapstick di jaman itu bukan hal kampungan.

Mari kita cek beberapa tahun lalu, saat 2010 berganti jadi 2011 sampai sekarang.

Selera humor rakyat Indonesia semakin terdegradasi, masih menurut gua, sih. Rakyat Indonesia lebih suka ngetawain hal-hal receh, bukan berarti gua gak ngetawain hal-hal receh, ya. Gua juga ikut ngetawain hal-hal receh, tapi yang recehnya menengah ke atas.

Gua buka path, ada aja yang nge-share rage comic ala-ala. Lucu sih, tapi ya cuma sekedar bikin senyum bukan ngakak, sorry, maksud gua ketawa lepas. Ngakak kesannya barbar banget.

Waktu itu komedi tunggal belum seheboh sekarang, iya, stand-up comedy maksud gua. Komedi tunggal itu komedi cerdas. Lu gak bisa ketawa kalo lu gak ngerti apa permasalahan yang dibawain si komika.

Lalu apa masalahnya? Apa masalah ngetawain hal-hal receh sama nggak? Apa masalahnya kalo gua gak ketawa pas lagi nonton komedi tunggal?

Gua percaya, selera humor seseorang itu berbanding lurus sama tingkat intelektual seseorang. Inget, berbanding lurus, bukan berbanding terbalik.

Indonesia butuh komedi cerdas, untuk mentertawakan hal-hal yang masih dianggap tidak patut di tertawakan. Contohnya apa? Gampang, presiden kita. Jokowi. Banyak komika yang sekarang membawa argumennya tentang pemerintahan Jokowi dengan gaya yang bisa diketawain. Sampe sini, ngerti gak, udik?

Gua suka komedi yang dibangun dari premis dan diakhiri dengan punchline. Tapi tetep, gua gabisa nolak ketawa kalo ngeliat orang jatoh terus kepalanya bocor, yah walaupun ujung-ujungnya gua bantuin sih. Namanya juga ketawa, ketawa itu refleks kalo kata mas @pandji.

Akhir kata, biar selera humor pembaca rada meningkat, gausah banyak-banyak, dikit aja. Ini beberapa komika yang sering gua tonton... via youtube.

@pandji, @ernestprakasa, @notaslimboy.

Viva la komtung!

Bukan komika, Kevin Jordanus.

Tuesday, July 21, 2015

Super Over-head Kick

Bagi gua, masa-masa menyenangkan adalah ketika gua bisa tidur di kasur rumah gue, beralaskan bantal yang sepreinya bau iler kecampur keringet gua. Ini kesannya menjijikan banget ya, tapi menurut gua itu adalah hal yang paling bikin gua cepet tidur.

Tapi ada juga hal-hal yang bikin gua susah tidur, seperti, ngoroknya adek gua. Gua gak sadar sejak kapan dia bisa ngorok, gua juga gak mau tau sih. Tapi ngoroknya adek gua itu berisik banget, asli. Jadi, mau gak mau gua harus tidur sebelum adek gua tidur dengan ngoroknya yang dahsyat itu.

Beberapa hari lalu gua melakukan kesalahan fatal, ya, begadang buat bikin naskah cerita. Padahal naskahnya cuma mentok 8 page microsoff word. Tenang, gua ngerti kok cara ngetik yang baik dan benar. Font size 12, font type Times New Roman. Iya kan?

Kemudian gua masuk kamar, mendapati adek gua udah terlelap komplit dengan suara ngoroknya dia yang dahsyat.

Gua gelisah, gua gak bisa tidur, bolak-balik badan, bolak-balik bantal, bolak-balik kasur. Soal bolak-balik kasur gua becanda. Yah gitulah, pokoknya gua gak bisa tidur denger ngoroknya dia.

Akhirnya gua coba setel lagu dengan posisi kepala gue bersebelahan dengan kakinya dia. Lagu gua pilih yang santai-santai gitu, volumenya juga gak full, entah adek gua ini makan apaan tadi, ngoroknya makin menjadi. Setan.

Gua coba meremin mata, goyang-goyangin kaki sambil bolak-balik badan. Ini sebenernya gua lagi SKJ apa nyoba tidur, sih.

Gua udah mulai pules, kemudian gua ngebalik badan gua, kaki gua ikutan, serta diiringi suara "JDUK!". Ya, kaki gua mendarat di hidung adek gua. Hidung adek gua pendarahan, bahasa kampungnya mimisan.

Dia bangun, buka pintu, dia sadar kayaknya kalo dia mimisan. Dan batin gua bersorak kegirangan, "akhirnya dia bangun! Akhirnya gak ada yang ngorok!". Dengan sok innocent gua nanya dia.

"Neth, lo mimisan?"

"Iya, nih, ko."

"Udah berenti?"

"Belom, tapi udah disumpel tissue."

Lah... dia masih mau ngelanjutin tidurnya dengan kondisi mimisan. Entah monster tidur macam apa adek gua ini.

Over-head kick gua gagal, dia langsung pules beserta ngoroknya. Dan sepanjang perjalanan gua tidur, gua dengerin album Coldplay, Ghost Stories, sambil diiringi senandung ngorok adek gua. Sial.

"And if you were to ask me... GROOOK. // after all that we've been through... GROOOK. // 'do you still believe in magic?'... GROOOK. // Well, yes, i do."

Ya, entah kenapa, lagu magic-Coldplay di malem itu terdengar sangat gak menyenangkan. Mungkin lain kali gua bakal coba super over-head kick, biar sekalian pingsan, gitu.

Bukan kakak yang baik, Kevin Jordanus.

Saturday, July 18, 2015

Antara Saya dan Imaji Tentang Anda

"Got a tatoo said together thru' a life

Carved your name with my pocket knife

And you wanna when you wake up

You wanna be alright"

-Ink, Coldplay

Sebelumnya mari kembali ke beberapa tahun lalu. Agustus 2014.

Prolog: Me

Saya seorang laki-laki, Full-time student, bercanda. Bahkan saya tidak terlalu pintar untuk ukuran anak yang tidak pernah bolos sekolah.

Saya menghabiskan waktu saya di tongkrongan, rumah, sekolah dan sedikit dari waktu saya, saya habiskan di tempat ibadah.

Saya bukan tipikal laki-laki yang melulu mencari perempuan untuk diajak menjalin hubungan, but indeed, i need a serious relationship.

Juga bukan tipikal yang menghabiskan waktunya untuk hal-hal tidak berguna. Percayalah, saya paham tentang hal-hal yang anda tidak paham, begitu juga sebaliknya.

Prolog: You

Saya kenal anda, setidaknya tau. Anda adik kelas saya yang baru masuk di tahun ajaran 2014/15. Angkatan 27. Bukan masalah jika saya tidak mengetahui anda, tapi saya malah ingin mengenal anda, bukan sebagai kakak kelas, tapi sebagai laki-laki.

Malam itu tidak ada yang berbeda, harusnya. Saya mengirim BBM request kepada anda, saya tau, saya yang harusnya memulai percakapan, tapi malam itu anda yang memulai percakapan lebih dulu. An unusual night, for me.

"Yes. Ini siapa?" Dari anda, membuat malam itu jadi sangat berbeda. Belum ada kita, masih saya dan anda. Belum terlintas juga akan ada kata kita nantinya.

Rasanya, anda berbeda. Rasanya, i can fit you perfectly, tapi saya tidak tau bagaimana perasaan anda terhadap saya. Aneh. Kind of weird feelings.

Prolog: Us

Sudah hampir 1 bulan sejak percakapan di malam itu. Sudah hampir 1 bulan juga saya memantapkan perasaan saya untuk anda, dan tetap saya belum mengetahui bagaimana perasaan anda terhadap saya.

28 Agustus 2014, bukan jadi hari yang terlampau berkesan untuk saya. Kemarinlah hari yang berkesan.

Ya, kemarin. Kemarin kita memulai hubungan. Kemarin, menurut saya akan jadi hari yang akan selalu berkesan. Ya, menurut saya.

Sebelum akhirnya di tanggal 28, saya pergi untuk seminggu, menuntaskan tugas dari sekolah.

Akhirnya ada kita.

Epilog: Us

Karena terkadang realita tidak seindah imajinasi dua remaja bodoh yang sedang kasmaran. Nyata semua tidak terlalu mulus untuk kita. Terlalu takut, mungkin. Atau memang belum masanya, belum masanya untuk berjalan beriringan.

Terlampau banyak ego dan imaji yang dipaksakan. Saya dengan keinginan saya, dan anda dengan keinginan anda.

Saya dan keinginan saya untuk bertahan, serta anda dengan ketidak-tahanan anda  terhadap ego saya. Atau mungkin, posisinya terbalik. Saya yang sudah tidak ingin bertahan.

Semuanya terkesan dipaksakan, dari hal yang paling sederhana sampai hal yang terlampau rumit. Semuanya terkesan dipaksakan.

Sampai kalimat terakhir yang anda berikan untuk saya, rasanya masih dengan perasaan yang dipaksakan. Kalimat yang harusnya anda keluarkan dengan rasa tulus, akhirnya jadi kalimat dengan kesan dipaksakan.

Ya, seakan memaksa untuk berharap semua akan baik-baik saja.

Dan di akhir semua ini, kembali lagi, hanya ada anda dan saya, tanpa kita.

Epilog: You

Anda terlihat baik, cenderung tidak memikirkan apa yang telah terjadi. Saya tidak melihat kesan dipaksakan dari anda, sesuatu yang sudah tidak saya lihat menjelang berakhirnya kita.

Menjalani hidup sebagai perempuan berumur 16 tahun.

Sejujurnya, saya selalu jatuh cinta setiap melihat anda tersenyum. Bukan hal baru untuk saya, tapi senyuman anda rasanya berbeda. Mungkin hanya imaji saya yang memaksa saya untuk jatuh cinta setiap melihat anda terseyum.

Oh hey, you. I wish you well.

Then i hope you don't see the silent hell in those words. I hope.

Epilog: Me

Saya, akhirnya menyelesaikan sekolah menengah akhir saya. Akhirnya saya keluar dari tempat di mana saya dan anda bertemu. Sambil berharap waktu bisa menyembuhkan semua luka yang saya dan anda rasakan.

Saya tidak melanjutkan studi ke universitas manapun, menurut saya pelajaran bisa didapat di manapun, termasuk di gorong-gorong kota yang mungkin lebih dikenal dengan nama kolong jembatan.

Tapi tidak, saya tidak meneruskan studi di gorong-gorong kota meskipun itu tempat yang cukup baik untuk mendapatkan pengalaman serta ilmu yang berarti untuk kehidupan. Terlalu busuk baunya.

Saya menjalani hidup seperti remaja 17 tahun pada umumnya. Bukan dengan hidup yang terlalu wah, bukan juga dengan hidup yang terlalu miskin. Standar.

Ya, standar. Tanpa kita, tanpa anda, hanya saya dan imaji saya tentang anda.

Friday, July 17, 2015

Budi Mulia Cup

Pertama kali gua masuk SMA gua excited banget, ternyata sekolah gua gak cupu-cupu banget. Ternyata SMA gua juga punya acara tahunan yang lumayan besar. Iya, gua menunaikan wajib sekolah 12 tahun di SMA Budi Mulia Bogor. Eh, wajib sekolah itu 9 apa 12 sih?

Ternyata pas gua kelas 10, BM Cupnya gak jadi. Diganti sama pensi yang -uhm maaf- gak layak dibilang pensi. Kecewa? Jelas. Kesel? Apalagi. Ini gua abis diputusin apa gimana ya sebenernya.

Akhirnya gua kelas 11, untuk pertama kalinya gua ikut organisasi di sekolah. Iya, gua jadi panitia BM Cup IX. Cemen sih, cuma jadi panitia keamanan. Tapi gapapa, namanya juga nyari pengalaman.

Yang gua gak abis pikir, kenapa gua ditunjuk jadi panitia keamanan. Dari sisi manapun gua gak cocok jadi panitia keamanan. Badan kerempeng, muka cina luntur, ngomong kaga bisa ngebentak, boro-boro ngebentak ngomong biasa aja cengengesan.

Jalannya acara sih lancar jaya, semua sesuai rencana ibu ketua, iya ketua BM Cup IX itu cewe, namanya Zita. Semuanya lancar. Mungkin karena gua gak tau apa-apa jadi ngiranya semuanya lancar. Yah pokoknya lancar.

Beberapa bulan setelah BM Cup IX selesai, gua syok. Ini beneran syok. Kata-kata gua yang gua pikir becandaan, diseriusin sama Zita. Iya, gua waktu itu dengan cengengesan bilang, "yaudah, gua aja yang jadi ketua BM Cup X.". Damn you, zit.

Akhirnya jadilah gua ketua BM Cup X merangkap jadi ketua osis II. Gua mulai milih-milih struktur keanggotaan, mulai belajar tata cara aturan basket, belajar bikin turnamen, dan segala tetek bengeknya, gua beneran belajar semua dari 0.

Anak yang dulunya cuma panitia keamanan, eh malah jadi ketua panitia. Bingung gak lo?

Setelah kelar milih siapa-siapa aja yang jadi panitia, akhirnya mulai ngurusin sponsorship sama ngurusin perizinan.

Gua jadi ketua BM Cup X itu kelas 12, dan gua juga bukan orang yang suka ninggalin kelas buat dispensasi yang ujungnya cuma ngegabut. Percayalah, gua bukan orang kayak gitu, kecuali emang gurunya gua ga suka, yaudah gua cabut. He he he.

Bulan demi bulan udah lewat, dari persiapan yang cuma milih-milih anak orang jadi panitia, eh sekarang udah tinggal menghitung hari. 18-25 Oktober 2014, BM Cup X resmi diselenggarakan. Saik.

---

Sampe sekarang, kalo gua inget-inget ternyata gua pernah dipromosikan sejauh itu rasanya epik banget. Serius.

Dari anak sma yang biasa aja, bahkan cenderung biasa banget. Sampe akhirnya gua jadi ketua panitia BM Cup X. Menurut gua itu lompatan yang tinggi banget.

Jadi, gimana kehidupan SMA lo? Cuma dateng-belajar-pulang? Percaya sama gue, lo bakal malu nanti kalo anak lo ada yang nanya gimana SMA lo.

Masih pake cinta, Kevin Jordanus.

Sunday, July 5, 2015

Mencacilah dan Memakilah

Kita hidup di era dimana kalo gak update bakalan dibilang kuper, bahkan di era dimana kalo melakukan sesuatu yang "tidak dilakukan oleh kelompok mayoritas" maka dianggap sebagai sesuatu yang salah.

Sederhananya gini, lo udah urus perizinan reklame sama pihak yang berwajib tapi lo belom izin sama "yang punya daerah situ", tiba-tiba perizinan lo dianggap salah. Ya, ini kasus FBR beberapa bulan lalu.

Menurut gua, gua cukup up to date, in my own way. Ya. Kalo diajak ngomong soal berita, gua sedikit-sedikit mah ngerti, bahkan bisa bales. Maksudnya bisa diajak ngobrol soal berita. Gitu.

Kadang tinggal di negara yang orang bilang berkembang tapi perkembangannya gak terlalu terlihat itu susah. Ambil contoh bidang transportasi. Banyak proyek yang bikin rakyat excited, tapi ke siniinnya malah bikin bosen karena kelamaan nunggu.

Suka mengkritisi bukan berarti menolak untuk dikritisi. Gua suka bahkan sangat suka untuk mendapat kritikan. Karena menurut gua itu hak eksklusif untuk seseorang yang suka mengkritisi sesuatu. Ya, biarpun kadang kritikan itu datang dengan atau tanpa pertanggung jawaban.

Gua tinggal di Depok, kurang lebih 11 tahun. Gua SMA di Bogor, kurang lebih 3 tahun. Dan akhir-akhir ini gua sering ke Jakarta, bukan buat jadi anak gaul, gua kerja di daerah Jak-Bar. Untuk orang seperti gua yang mengharuskan naik transportasi umum, gua paham banget kalo yang namanya udah macet.

Sebulan lalu gua buat pertama kalinya ke Jakarta via Bus. Sambil nunggu bus, gua mampir ke warkop di dalem terminal. Ya karena iseng gua jadi ngobrol sama supir bus.

Tapi entah kenapa ini malah jadi obrolan satu arah, dia terus yang cerita. Gua cuma manggut sambil bilang, "iya bener tuh be'".

Dia ngeluhin soal BBG, katanya BBG itu gak efektif.

"Ya, gua sih sebagai supir oke-oke aja kalo bis yang gua "tarik" disubsidi buat pindah dari BBM ke BBG. Masalahnya gini, dek. SPBU BBG itu gak merata, nah itu kan lucu menurut kita para supir. Terus, biaya ganti mesin dari BBM ke BBG itu gak murah. Mesin aja 15 juta, trus biaya pasang 5 juta. Itu narik sebulan juga belom tentu kekejar, dek."

Tapi yang gua salut. Babeh ini gak cuma ngeluhin masalahnya. Dia ngasih poin-poin solusi. Ini menurut gua cukup out standing sih. Ternyata ga semua supir isinya orang-orang tolol yang ngejar setoran.

"Ya kalo mau enak sih gini. Itu biaya ganti mesin disubsidi, gausah semuanya, 60:40-lah. Nah trus SPBU-SPBU itu udah nyediain BBG semua. Itu kalo mau enak. Lagian sekarang ini yang nikmatin premiun siapa? Ya orang-orang yang pake mobil pribadi, dek. Kan premium itu harusnya buat kita, supir angkutan gini."

Terus gua langsung kagum, mungkin karena gua gatau masalah BBG ini, mungkin juga karena gua baru tau ternyata supir angkutan enak juga diajak nongkrong.

"Dek. Nanti kalo adek udah pinter, udah kaya, trus masuk parlemen. Jangan kebanyakan korupsi, dikit aja."

Itu kata-kata babeh supir bus sebelum gua berangkat ke Jakarta.

Bener sih, kalo mau korupsi ya sedikit aja. Sedikit korupsi dari anggaran yang dikasih pemerintah itu gak sedikit soalnya.

Itu contoh nyata dari seorang supir bus, yang ternyata masih peduli dengan bangsa ini. Memang aspirasinya terdengar kasar di kalangan pejabat, tapi ya memang itu kenyataannya.

Gua suka mengeluhkan ini itu tentang bangsa ini, gua suka mengkritik pemerintahan bangsa ini, bahkan gua suka mencaci serta memaki pemerintahan bangsa ini. Tapi akhirnya gua sadar, kebanyakan omongan gua cuma keluhan tanpa solusi. Miris ya, bahkan babeh supir bus aja bisa memaparkan solusinya.

Satu hal. Tugas rakyat itu mengawasi pemerintahan. Kalau dirasa pemerintahan telah melenceng, kita bebas menyatakan pendapat. Tenang, ini bukan era orde baru, menyatakan pendapat tidak membuat hidup kalian berakhir di bui.

Maka dari itu, selagi kita masih jadi rakyat. Awasilah pemerintahan ini dengan baik.

Beraspirasilah.

Menjadi kritislah.

Kritiklah.

Hinalah, kalau memang layak dihina.

Mencacilah.

Karena itu hak kita, sebagai rakyat.

Dari seseorang yang bukan menteri, Kevin Jordanus.

Wednesday, July 1, 2015

Love Wins or Love Sins

Ada 2 hal yang paling gua ga suka dari orang-orang. Pertama, sok kritis tapi gapernah nge-research. Kedua, kritis tapi cuma ngomong. Buat gua, orang-orang kayak gitu otaknya gaada, bahasa kerennya brainless.

Kurang lebih seminggu yang lalu U.S.A melegalkan perkawinan sesama jenis. Gua sama sekali ga kepikiran buat speak-up kayak gini, karena kalo gua udah ngomong dan nge-tai-tai-in orang artinya gua gabisa nge-tai-tai-in mereka lagi. Karena pada dasarnya gua suka banget ngetawain orang-orang yang otaknya dikit.

Banyak komentar yang langsung bermunculan dan tentu layak diketawain. Salah satunya dari twitter. Gua ga paham sama orang-orang yang langsung argumen tanpa dipikirin lagi ya kalo emang gabisa dipikirin sendiri, bawa aja argumen lo ke forum debat atau ajak temen lo yang lo rasa cukup paham masalahnya buat tukar pendapat. Dari pada lo ngeluarin argumen mentah.

Homo seksual, kalo ditinjau dari etimologinya; homo: satu, sama, tidak berlainan. Seksual: birahi, nafsu. Jadi homo seksual itu gangguan psikis dimana penderitanya menyukai sesama jenis. Berlaku buat laki-laki (gay) dan perempuan (lesbian).

Topik ini sempet gua omongin di forum, ga sengaja ikutan sih.

Kalo ditanya gay marriage ini salah atau ngga, ya jelas nggak. Tapi inget, nggak salahnya ya di U.S.A gak salah ya karena di sana udah legal. Kalo ditanya di Indonesia... ya salah. Karena belum ada hukum yang mengatur tentang kelegalan pernikahan sesama jenis.

Kemudian, yang paling umum. Dosa gak? Jelas dosa. Di keyakinan yang gua yakinin sih singkatnya gini "God made Adam and Eve, not Adam and Steve." gitu. Ngerti kan?

Satu lagi, perintah Tuhan saat nyiptain adam dan hawa salah satunya kurang lebih gini: "... beranak cucu dan penuhilah bumi.". Gimana caranya beranak cucu kalo homoseks? Karena secara biologis pasangan penis ya vagina. Uhm terlalu vulgar ya? Yaudah. Pasangan sperma ya sel telur. Dan lagipula, sejauh ini gua belom pernah denger atau baca hubungan homoseks berbuah anak.

Untuk yang pro sama pernikahan sesama jenis dengan dasar hukum dan gangguan psikis, it's ok. Case close with you, guys.

Untuk yang kontra dengan dasar nas-nas yang ada di kitab suci. Apa tindakan lo selanjutnya? Apa udah cukup dengan lo speak-up? Biji kuda. Makan tuh omongan. Banyak kok orang-orang homo seks di tempat ibadah, apa lo bakal nyuruh mereka berhenti dateng ke tempat ibadah? Atau lo bakal nyoba ngerehab mereka?

Daripada lo bikin akun-akun yang sok official dan sangat memotivasi dengan kata-kata indah nan suci di line, mending lo ngerehab mereka. Dengan apa? Dengan coba buat komunitas yang membangun dan menyadarkan mereka.

Ga harus komunitas yang rohani banget, kok. Komunitas biasa aja, tapi yang gendernya lengkap, ada cewe ada cowo,  dan yang bisa buat mereka nyaman, bukan nyaman dengan kelaianan orientasi seksualnya tapi nyaman karena gaada penolakan tentang orientasi seksualnya.

Ya semoga sih gaada orang-orang dengan mindset, "uh, gua gaboleh temenan sama homoseks nih. Haram haram.". Karena terkadang kita butuh mereka lho. Terkadang aja.

---

Sampai kapanpun dunia dan pengetahuannya akan selalu bertolak belakang dengan agama dan segala pengertiannya.

Dalam ngambil kesimpulan, coba ambil dari 2 perspektif atau lebih. Tapi dalam ngambil keputusan, pastikan lo cuma ngambil dari satu perspektif.

Gua untuk urusan pernikahan sesama jenis, jelas gua kontra. Kontra tanpa bermaksud mengucilkan mereka dari masyarakat. Karena kontra gak harus menolak secara vulgar kan? Ya.

Lagipula, selain gua masih jadi pendosa , siapa gua sampe gua menolak mereka karena orientasi seksual mereka. Menteri juga bukan. Lagian, yang Tuhan benci itu dosa, bukan pendosa.

Karena saat lo ngambil perspektif, balik lagi perspektif siapa yang lo ambil. Perspektif Tuhan atau perspektif dunia. Karena gaada perspektif Tuhan yang kedunia-duniaan dan sebaliknya.

Best regards, Kevin Jordanus.

Editorial credit: Leonel Steven & David Renato