Kita hidup di era dimana kalo gak update bakalan dibilang kuper, bahkan di era dimana kalo melakukan sesuatu yang "tidak dilakukan oleh kelompok mayoritas" maka dianggap sebagai sesuatu yang salah.
Sederhananya gini, lo udah urus perizinan reklame sama pihak yang berwajib tapi lo belom izin sama "yang punya daerah situ", tiba-tiba perizinan lo dianggap salah. Ya, ini kasus FBR beberapa bulan lalu.
Menurut gua, gua cukup up to date, in my own way. Ya. Kalo diajak ngomong soal berita, gua sedikit-sedikit mah ngerti, bahkan bisa bales. Maksudnya bisa diajak ngobrol soal berita. Gitu.
Kadang tinggal di negara yang orang bilang berkembang tapi perkembangannya gak terlalu terlihat itu susah. Ambil contoh bidang transportasi. Banyak proyek yang bikin rakyat excited, tapi ke siniinnya malah bikin bosen karena kelamaan nunggu.
Suka mengkritisi bukan berarti menolak untuk dikritisi. Gua suka bahkan sangat suka untuk mendapat kritikan. Karena menurut gua itu hak eksklusif untuk seseorang yang suka mengkritisi sesuatu. Ya, biarpun kadang kritikan itu datang dengan atau tanpa pertanggung jawaban.
Gua tinggal di Depok, kurang lebih 11 tahun. Gua SMA di Bogor, kurang lebih 3 tahun. Dan akhir-akhir ini gua sering ke Jakarta, bukan buat jadi anak gaul, gua kerja di daerah Jak-Bar. Untuk orang seperti gua yang mengharuskan naik transportasi umum, gua paham banget kalo yang namanya udah macet.
Sebulan lalu gua buat pertama kalinya ke Jakarta via Bus. Sambil nunggu bus, gua mampir ke warkop di dalem terminal. Ya karena iseng gua jadi ngobrol sama supir bus.
Tapi entah kenapa ini malah jadi obrolan satu arah, dia terus yang cerita. Gua cuma manggut sambil bilang, "iya bener tuh be'".
Dia ngeluhin soal BBG, katanya BBG itu gak efektif.
"Ya, gua sih sebagai supir oke-oke aja kalo bis yang gua "tarik" disubsidi buat pindah dari BBM ke BBG. Masalahnya gini, dek. SPBU BBG itu gak merata, nah itu kan lucu menurut kita para supir. Terus, biaya ganti mesin dari BBM ke BBG itu gak murah. Mesin aja 15 juta, trus biaya pasang 5 juta. Itu narik sebulan juga belom tentu kekejar, dek."
Tapi yang gua salut. Babeh ini gak cuma ngeluhin masalahnya. Dia ngasih poin-poin solusi. Ini menurut gua cukup out standing sih. Ternyata ga semua supir isinya orang-orang tolol yang ngejar setoran.
"Ya kalo mau enak sih gini. Itu biaya ganti mesin disubsidi, gausah semuanya, 60:40-lah. Nah trus SPBU-SPBU itu udah nyediain BBG semua. Itu kalo mau enak. Lagian sekarang ini yang nikmatin premiun siapa? Ya orang-orang yang pake mobil pribadi, dek. Kan premium itu harusnya buat kita, supir angkutan gini."
Terus gua langsung kagum, mungkin karena gua gatau masalah BBG ini, mungkin juga karena gua baru tau ternyata supir angkutan enak juga diajak nongkrong.
"Dek. Nanti kalo adek udah pinter, udah kaya, trus masuk parlemen. Jangan kebanyakan korupsi, dikit aja."
Itu kata-kata babeh supir bus sebelum gua berangkat ke Jakarta.
Bener sih, kalo mau korupsi ya sedikit aja. Sedikit korupsi dari anggaran yang dikasih pemerintah itu gak sedikit soalnya.
Itu contoh nyata dari seorang supir bus, yang ternyata masih peduli dengan bangsa ini. Memang aspirasinya terdengar kasar di kalangan pejabat, tapi ya memang itu kenyataannya.
Gua suka mengeluhkan ini itu tentang bangsa ini, gua suka mengkritik pemerintahan bangsa ini, bahkan gua suka mencaci serta memaki pemerintahan bangsa ini. Tapi akhirnya gua sadar, kebanyakan omongan gua cuma keluhan tanpa solusi. Miris ya, bahkan babeh supir bus aja bisa memaparkan solusinya.
Satu hal. Tugas rakyat itu mengawasi pemerintahan. Kalau dirasa pemerintahan telah melenceng, kita bebas menyatakan pendapat. Tenang, ini bukan era orde baru, menyatakan pendapat tidak membuat hidup kalian berakhir di bui.
Maka dari itu, selagi kita masih jadi rakyat. Awasilah pemerintahan ini dengan baik.
Beraspirasilah.
Menjadi kritislah.
Kritiklah.
Hinalah, kalau memang layak dihina.
Mencacilah.
Karena itu hak kita, sebagai rakyat.
Dari seseorang yang bukan menteri, Kevin Jordanus.
No comments:
Post a Comment