Saturday, July 18, 2015

Antara Saya dan Imaji Tentang Anda

"Got a tatoo said together thru' a life

Carved your name with my pocket knife

And you wanna when you wake up

You wanna be alright"

-Ink, Coldplay

Sebelumnya mari kembali ke beberapa tahun lalu. Agustus 2014.

Prolog: Me

Saya seorang laki-laki, Full-time student, bercanda. Bahkan saya tidak terlalu pintar untuk ukuran anak yang tidak pernah bolos sekolah.

Saya menghabiskan waktu saya di tongkrongan, rumah, sekolah dan sedikit dari waktu saya, saya habiskan di tempat ibadah.

Saya bukan tipikal laki-laki yang melulu mencari perempuan untuk diajak menjalin hubungan, but indeed, i need a serious relationship.

Juga bukan tipikal yang menghabiskan waktunya untuk hal-hal tidak berguna. Percayalah, saya paham tentang hal-hal yang anda tidak paham, begitu juga sebaliknya.

Prolog: You

Saya kenal anda, setidaknya tau. Anda adik kelas saya yang baru masuk di tahun ajaran 2014/15. Angkatan 27. Bukan masalah jika saya tidak mengetahui anda, tapi saya malah ingin mengenal anda, bukan sebagai kakak kelas, tapi sebagai laki-laki.

Malam itu tidak ada yang berbeda, harusnya. Saya mengirim BBM request kepada anda, saya tau, saya yang harusnya memulai percakapan, tapi malam itu anda yang memulai percakapan lebih dulu. An unusual night, for me.

"Yes. Ini siapa?" Dari anda, membuat malam itu jadi sangat berbeda. Belum ada kita, masih saya dan anda. Belum terlintas juga akan ada kata kita nantinya.

Rasanya, anda berbeda. Rasanya, i can fit you perfectly, tapi saya tidak tau bagaimana perasaan anda terhadap saya. Aneh. Kind of weird feelings.

Prolog: Us

Sudah hampir 1 bulan sejak percakapan di malam itu. Sudah hampir 1 bulan juga saya memantapkan perasaan saya untuk anda, dan tetap saya belum mengetahui bagaimana perasaan anda terhadap saya.

28 Agustus 2014, bukan jadi hari yang terlampau berkesan untuk saya. Kemarinlah hari yang berkesan.

Ya, kemarin. Kemarin kita memulai hubungan. Kemarin, menurut saya akan jadi hari yang akan selalu berkesan. Ya, menurut saya.

Sebelum akhirnya di tanggal 28, saya pergi untuk seminggu, menuntaskan tugas dari sekolah.

Akhirnya ada kita.

Epilog: Us

Karena terkadang realita tidak seindah imajinasi dua remaja bodoh yang sedang kasmaran. Nyata semua tidak terlalu mulus untuk kita. Terlalu takut, mungkin. Atau memang belum masanya, belum masanya untuk berjalan beriringan.

Terlampau banyak ego dan imaji yang dipaksakan. Saya dengan keinginan saya, dan anda dengan keinginan anda.

Saya dan keinginan saya untuk bertahan, serta anda dengan ketidak-tahanan anda  terhadap ego saya. Atau mungkin, posisinya terbalik. Saya yang sudah tidak ingin bertahan.

Semuanya terkesan dipaksakan, dari hal yang paling sederhana sampai hal yang terlampau rumit. Semuanya terkesan dipaksakan.

Sampai kalimat terakhir yang anda berikan untuk saya, rasanya masih dengan perasaan yang dipaksakan. Kalimat yang harusnya anda keluarkan dengan rasa tulus, akhirnya jadi kalimat dengan kesan dipaksakan.

Ya, seakan memaksa untuk berharap semua akan baik-baik saja.

Dan di akhir semua ini, kembali lagi, hanya ada anda dan saya, tanpa kita.

Epilog: You

Anda terlihat baik, cenderung tidak memikirkan apa yang telah terjadi. Saya tidak melihat kesan dipaksakan dari anda, sesuatu yang sudah tidak saya lihat menjelang berakhirnya kita.

Menjalani hidup sebagai perempuan berumur 16 tahun.

Sejujurnya, saya selalu jatuh cinta setiap melihat anda tersenyum. Bukan hal baru untuk saya, tapi senyuman anda rasanya berbeda. Mungkin hanya imaji saya yang memaksa saya untuk jatuh cinta setiap melihat anda terseyum.

Oh hey, you. I wish you well.

Then i hope you don't see the silent hell in those words. I hope.

Epilog: Me

Saya, akhirnya menyelesaikan sekolah menengah akhir saya. Akhirnya saya keluar dari tempat di mana saya dan anda bertemu. Sambil berharap waktu bisa menyembuhkan semua luka yang saya dan anda rasakan.

Saya tidak melanjutkan studi ke universitas manapun, menurut saya pelajaran bisa didapat di manapun, termasuk di gorong-gorong kota yang mungkin lebih dikenal dengan nama kolong jembatan.

Tapi tidak, saya tidak meneruskan studi di gorong-gorong kota meskipun itu tempat yang cukup baik untuk mendapatkan pengalaman serta ilmu yang berarti untuk kehidupan. Terlalu busuk baunya.

Saya menjalani hidup seperti remaja 17 tahun pada umumnya. Bukan dengan hidup yang terlalu wah, bukan juga dengan hidup yang terlalu miskin. Standar.

Ya, standar. Tanpa kita, tanpa anda, hanya saya dan imaji saya tentang anda.

No comments:

Post a Comment