Saturday, December 12, 2015

Phase-1

To whom it may concern.

So I am here, all by myself. You know what, a long time ago we acted like a lover to each other. Oh, just a friendly reminder.

Phase-1:

You came up with our problems, bump those up on my face. Tell me about how we should do about those shits. We both were fulfilled by anger back then, remember?

"I can not take it anymore. It's not you, just me."  You said.

I don't know why, but I ended up got my feelings burnt into ashes.

Phase-2:

The big hole appears on my feelings, the hole that you used to fill -with those cheesy jokes, those offers to do some stupid things, everything that you used to tell me, everything that we used to do.

I've tried my best to fill it with smoke from my cigar. But, nope. The smokes can't fill it.

I've tried my best to fill it with all laughter that came out when i'm with my pals. But, nope. Still can't fill the hole.

I've tried my best to run, hope all of my sweats can fill it. Heck, still the hole can't easily get filled.

The big hole, keeps reminding me of those things we've done.

Phase-3:

I know i can't fill the hole. So, instead of trying to fill it. I blame everything.

I blame you for becoming too selfish, too rude, oh come on. I'm not playing victim here. That's the truth, isn't it?

Still can work it out, the hole still there.

So i blame God, why He made such thing called expectations, anger, and that fucking thing called love.

Ended up being un-believer. Why not?

Then i realized, i was wrong. But it's just way too late, no?

Phase-4:

I know, the hole is about our routine. So, i search for another routinity, not to fill it. But to forget those routines.

I read plenty of books.

I ran even further every morning, and also faster.

I wrote, a bit.

I learned how to improve my skills through internet.

And it worked.

Still the hole is there. But, i've got new routine without you.

Phase-5:

You left me because you deserve happiness, so do I. I do deserve happiness too, no?

I forgave myself, i tried to accept the pain, even the truth is that we are not suppose to be together.

Yes I do it alone, all by myself.

Phase-6:

Everything works well now.

I know, sometimes shit happens and knock me down, so, ya, i just need to get up and knock that shit, tell it who is the boss. Right?
.
.
.
.
.
.
Ah, remember about the hole? It already get filled, filled with deep, dark, and cold hatred. Yes, hatred not anger. An intense deep, dark, and cold hatred. Sounds good, doesn't it?

So I am here, all by myself. You know what, a long time ago we acted like a lover to each other. Oh, just a friendly reminder.

Sunday, November 22, 2015

Can I Rely on You?

Oktober 2014.

Malam itu ada hujan turun dengan perlahan, membasahi ruas-ruas jalan dengan tidak kentara. Membasahi helmku dengan menyisakan beberapa bulir tetes hujan di ujung-ujungnya. Aku selalu jatuh cinta dengan suasana hujan, tapi tidak malam ini, aku belum di rumah ditambah ini sudah hampir pukul 11 malam. Tidak ada yang lebih buruk dari ini.

Nanti aku ke rumahmu, membawakan beberapa makanan dan membuatkanmu kopi hitam, katamu sore tadi sebelum hujan turun. Setelah itu tidak ada kabar darimu lagi.

Jalanan sudah sepi, namun langit menjatuhkan air dengan lebih berengsek, lebih deras dari sebelumnya, ditambah dengan angin yang menderu dari arah depan. Hari ini akan berakhir dengan buruk.

Tapi tidak, aku teringat pesanmu sore tadi, sedikit menenangkanku di jalan yang tidak tenang ini. Aku tetap memacu kendaraanku dengan kecepatan yang wajar, membiarkan tubuhku dibasahi atah lebih tepatnya dihantam dengan butir-butir air yang turun dari langit. Membuatku kuyup, dan tentu kedinginan.

Pukul 12 kurang 20 menit, aku akhirnya memarkirkan kendaraanku di halaman rumah, mencari kunci rumahku, dan membuka pintu rumahku.

Tidak ada tanda adanya kamu di sini, ataupun di setiap sudut rumahku. Ini terlalu kosong. Jika kamu sedang merencanakan kejutan, ini bukan waktu yang tepat, ini bahkan bukan hari ulang tahunku.

Setelah yakin benar tidak ada kamu di sini, atau keberadaanmu di jalan yang menuju rumahku. Akhirnya aku mengunci rumahku. Membilas badanku yang sudah kuyup dihajar oleh air hujan.

Akhirnya aku sadar, alasanku untuk pulang tidak ada.

"Can i rely my happiness on you, dear?" Kata imajiku sebelum pergi ke tanpa batas.

Sunday, October 18, 2015

Resah

Beberapa penulis sering bilang kalau tulisan terbaik akan keluar jika penulis menuliskan keresahannya dengan jujur. I am not really into those words, but somehow i can understand it.

Keresahan adalah teman terbaik setelah pengalaman dan rasa sakit hati.

Menurut gue pengalaman masih jadi hal dengan nilai jual paling tinggi, masih banyak orang dengan jemawa memaparkan pengalaman-pengalamannya dengan rasa percaya diri yang tinggi, ya, gue juga begitu.

Sampai di satu titik, gue merasa pengalaman gue biasa aja. Masih berkesan, tapi rasanya tidak untuk dipublikasikan.

Kemudian rasa sakit hati, dalam beberapa kasus gue merasa rasa sakit hati ini jadi teman yang paling akrab dengan gue, bahkan gue bisa sakit hati jika makanan gue tumpah. Sakit hati gue sesederhana itu.

Karena, jika bahagia bisa sederhana, kenapa sakit hati juga gak bisa sederhana? Jangan overrated kalimat bahagia itu sederhana.

Lagi, akhirnya gue udah sampai di titik tidak ada gunanya menyuarakan rasa sakit hati, lebih baik disimpan sendiri, dan membiarkan sakit hati itu sembuh oleh waktu

Tidak ada yang lebih buruk dengan berharap ada orang yang peduli dengan rasa sakit hati milik pribadi.

Ada penggalan lagu dari One OK Rock yang gue suka, dari lagu Memories di album 35xxxv.

"So better you stop searching for miracle it's bad enough than nobody helps"

Gue pribadi gak suka jika hal pribadi gue dicampuri oleh orang lain, jadi gue gak mengijinkan orang lain mencoba memahami sakit hati gue yang sifatnya pribadi.

Lalu keresahan. Sama seperti sakit hati, keresahan gue juga sederhana, sesederhana gue yang resah ketika menyadari jika alfabet itu gak dimulai dari z atau f? Atau sesederhana ketika gue resah mendengar orang dengan broken languange-nya.

Ya, gue tipikal orang yang mikirnya sederhana, sederhana banget.

Dan sampailah gue ke keresahan yang bikin resah banget. Resah akan agama gue.

Lo pernah mikir gak sih kalo agama itu ciptaan manusia?

Segala tata cara ibadatnya, hukum-hukum dan aturannya, bahkan sampai hari raya. Itu semua ciptaan manusia yang dilabeli "Diwahyukan oleh Tuhan." Sanggah saja jika salah, tapi kebanyakan seperti itu.

Maka dari itu, gue gak begitu suka konsep agama, ada garis tipis antara kebenaran dan ego.

Gue bukan tipikal pemeluk agama yang baik, orang-orang yang kenal gue di SMA pasti gaakan percaya gue masih pergi ke tempat ibadah. Begitu sebaliknya, orang-orang yang kenal gue di tempat ibadah gaakan percaya gue suka nongkrong pas SMA.

Dan, ya, gue percaya Tuhan, tapi gak suka konsep agama.

Tapi ini pembelaan gue, semoga tidak banyak yang menggunakan pembelaan ini untuk ajang berbuat dosa

"Mungkin saya bukan orang beragama terbaik yang pernah anda temui, tapi untuk saya pribadi Yesus masih jadi figur yang saya kagumi."

Soalnya, dia bisa minum anggur kapanpun dia mau. Oke, maaf, gue bercanda.

Lalu, satu kalimat lagi dari temen gue, Ribka. Gak seperti gue, dia manusia yang "kudus nggak, tapi jauh dari kata pendosa."

"Religions kill, But God save us."

Begitulah, akhirnya gue menemui keresahan terhebat dalam hidup gue. Setidaknya untuk sekarang itu keresahan terhebat gue.

Gue meresahkan itu lebih dari cara ngebaik-baikin pacar yang lagi ngambek, lebih resah ketika gue harus bersihin telinga dengan sabun mandi atau sabun muka. Bahkan lebih resah dari kenapa gue buang hajat lebih lama dari pada gue mandi.

Tapi percayalah, keresahan terhebat gue gak muncul ketika gue ngeden di kamar mandi.

Gue Kevin Jordanus, ketemu di tulisan berikutnya!

Friday, October 2, 2015

Adiksi

Pernah terbesit di imajimu entah kapan, tentang ketidaksukaanmu pada adiksiku? Tidak? Baik, tidak apa.

Sore di bulan Oktober itu jadi salah satu saksi tentang ketidaksukaanmu. Kita memutuskan untuk ke sebuah tempat yang tidak asing bagi kita, sebuah restoran cepat saji yang bisa ditempuh dengan kaki.

Di momen itu kita sama-sama mengenakan seragam dengan badge bertuliskan alamat sekolah, tapi seragamku dibalut lagi dengan sebuah jaket usang, yang sudah ada jauh sebelum ada kita.

"Boleh gue ngerokok?" Untuk beberapa momen rasanya kata aku terlalu santun.

"Mending kamu buang rokok itu atau aku langsung pulang?" Kamu malah balik bertanya.

Sore itu di restoran cepat saji, ada kita tanpa bau asap campuran kertas papir dan tembakau yang dibakar.

Lagi, sering terjadi di beberapa pagi saat kita masih ada di sekolah yang sama. Lebih tepatnya saat saya masih berseragam.

Sudah jadi kebiasaanku untuk menghabiskan beberapa menit di warung kopi dekat sekolah sebelum akhirnya masuk sekolah, juga aku mengenal warung kopi jauh sebelum kita.

Kemarin malam, kamu berkata bahwa pagi besok kamu ingin berbincang sebelum mengawali kelas, saya mengiyakan ajakanmu.

"Tapi kamu jangan bau rokok, ya." Kalimat itu muncul di layar handphone milik saya sesaat setelah saya mengiyakan ajakanmu.

Lagi, saya mengiyakan permintaanmu.

Pagi itu, kita berbincang singkat. Di wajahmu terbesit senyum singkat setelah kamu menyadari tidak adanya bau rokok dan kopi yang melekat pada seragam saya pagi itu.

Kemudian, beberapa momen ketika kita berbincang setelah usai jam pelajaran sekolah.

Setelah mengakhiri 7 jam yang membebani otak dan perasaan. Kita sering berbincang singkat tentang bagaimana hari itu bagimu dan bagiku. Walaupun jawabanmu tidak variatif malahan terkesan statis.

Sebelum berpisah dari perbincangan mulutmu selalu mengucapkan beberapa patah kata yang diikuti pesan-pesan medis.

"Jangan merokok lagi ya nanti. Langsung pulang aja. Nanti kamu bisa mati kalau terlalu banyak merokok." Katamu siang itu sebelum mengakhiri perbincangan kita.

Betapa bodohnya saya selalu mengiyakan kata-katamu tentang ketidaksukaanmu terhadap adiksiku.

Pernah terbesit di imajimu entah kapan, tentang ketidaksukaanmu pada adiksiku? Tidak? Baik, tidak apa.

Atau setidaknya, pernahkah terbesit di imajimu, entah kapan bahwa adiksiku selama ini bukanlah tembakau dan cengkih yang dibalut oleh kertas papir yang di salah satu ujungnya dilengkapi filter tapi kamu? Tidak? Baik, tidak apa.

Wednesday, September 30, 2015

Kretek: Budaya Atau Bahaya

Beberapa hari belakangan, lini masa twitter gue sedikit banyak yang me-retweet artikel seputar kretek. Yang gue baca tentu yang kontra dengan kretek, karena, sebagai perokok gue punya argumen sendiri.

Dari beberapa artikel, poin yang gue temui rata-rata sama, "Bagaimana bisa benda yang merusak dijadikan kebudayaan." ya gimana ya, kan emang terkadang budaya gak selalu baik, menurut lo aja.

Ada wacana juga menaikan harga rokok sampai 85%, sebelumnya mari kesampingkan argumen "trus para buruh tembakau mau makan apa?!" itu argumen jadul banget, ayo lebih inovatif.

Dan untuk sekedar informasi, harga tembakau kering hanya dihargai 1.200-2.000 rupiah per-kilogram. Itu untuk daerah Jogjakarta, untuk daerah lainnya gue gak tau, tapi menurut gue gak lebih dari 5.000 rupiah, bisa dilihat dari harga tembakau kering per-1/4kilo bisa didapat dengan harga 4.000-6.000 rupiah.

Mungkin ada yang nanya, terus kenapa rokok harganya bisa sampe 14.000-20.000 rupiah? Itu harga rokok dengan filter putih, bukan kretek, dasar antek kapitalis. Bagian antek kapitalisnya bercanda, aha.

Gue gaada masalah untuk kenaikan harga rokok, dengan beberapa kompensasi. Turunkan harga makan-makanan sehat, mudahkan akses mendapat makanan sehat, dan masih seputar itu. Wacana menaikan harga rokok berdasar karena pemerintah ingin anak muda yang sehat, jadi ya seperti tadi, naikan harga rokok, turunkan harga makanan sehat.

Jika tidak, gimana anak muda bisa sehat kalo yang murah cuma harga mi instan?

Mari kita sedikit gali lebih dalam, konsumen rokok biasanya remaja, orang-orang dengan penghasilan menengah ke bawah, serta beberapa orang yang sudah siap menghadapi bahayanya. Survey Riset kesehatan dasar (riskesdas) pertahun 2013, perokok dengan umur 15 tahun ke atas mencapai 36.6%, juga data GATS menunjukan 67% laki-laki indonesia merokok, which is yang paling banyak sedunia. Entah ini harus bangga atau malah mawas diri, saya juga bingung.

Kembali lagi, kretek ini emang budaya sih, gue sendiri pernah nyobain kretek, bisa bikinnya pula. Kretek itu rokok paling gampang dibuat, punya tembakau kering, cengkeh bubuk, sama kertas papir. Jadi deh. Yang mau sok-sok save kretek, ya mending coba dulu mbikin kretek, ya kalo gak bisa, minimal udah nyobain samsu deh.

Gue sih tipikal orang yang suportif sama kebijakan pemerintah, jika kebijakan itu membawa kebaikan, bukan hanya untuk kalangan eksekutif, kalangan menengah ke bawah juga ikut merasakan kebaikan itu.

Naikan harga rokok? Gak masalah. Tolak pasal tentang kretek di uu kebudayaan? Gak masalah. Tanpa memberikan kompensasi apapun? Ini masalah.

Kadang budaya itu gak selalu baik, tradisi juga begitu.

Jika pemerintan mau menaikan harga rokok dengan alasan menginginkan generasi muda yang sehat dan cerdas, mereka juga harus suportif kepada generasi muda. Semacam win-win solution. Pemerintah senang, generasi muda senang.

Atau, naikan harga rokok, legalkan ganja. Itu juga win-win solution. Tapi terlalu ekstrem, sih. Jadi, ya, turunkan harga makanan sehat.

Saya pribadi, sebagai perokok, setuju jika pemerintah menaikan harga rokok. Tapi apa pemerintah siap memberi kompensasi atas kenaikan harga rokok jika nanti para perokok mengajukan petisi yang berisi tuntutan mereka?

Menurut anda?

Perokok setengah matang, Kevin Jordanus.

Friday, September 25, 2015

Harga Sebuah Didikan

Semua manusia sudah seharusnya memiliki kemampuan berpikir. Apa yang baik dan apa yang buruk. Tindakan apa yang membawa kebaikan dan tindakan apa yang membawa keburukan.

Tapi, jangan lupa. Baik dan buruk itu masalah perspektif saja.

Setelah kalimat pembuka yang apik, ada baiknya gue minta maaf karena minggu lalu gak nulis apa-apa, even tulisan fiksi. Maaf, ya.

Yang baik menurut gue baik belum tentu menurut orang lain juga baik, juga sebaliknya, apa yang menurut gue buruk belum tentu menurut orang lain juga buruk.

Ini semua masalah didikan dan pedoman-pedoman yang diberikan dan dari mana manusia mencari atau diberikan pedomannya.

Gue besar di keluarga yang gak kristen-kristen banget dan juga bukan dari keluarga yang harmonis dan lengkap. Yah pokoknya gitu, gue merasakan figur bapak hanya sampai umur 6 tahun.

Gue belajar dari mana aja, bukan, ini bukan masalah pelajaran di bangku sekolah. Gue belajar dari pengemis sampai orang-orang yang memiliki hidup berkecukupan, dari pendosa hingga pemuka agama.

Dan itu membuat gue menjadi orang yang open-minded. Bohong, dalam beberapa hal gue cukup keras kepala.

Gue suka berpikir dengan dasar "bagaimana jika". Sangat filsuf, halah.

Dan hal yang gue pikirkan beberapa hari belakangan adalah, bagaimana jika orang orang memiliki pri-kemanusiaan yang baik.
Menurut gue, gaakan ada yang namanya status sosial yang kontras antara si miskin dan si kaya. Gaakan ada perang. Gaakan ada hal buruk.

Karena semuanya berdasarkan nurani, dan sepemikiran gue pula, nurani setiap orang sama dalam membedakan yang baik dan buruk.

Lalu kenapa sekarang orang memiliki dasar yang berbeda-beda tentang konsep baik dan buruk?

Kembali lagi tentang didikan dan pedoman yang diberikan.

Orang-orang yang besar di medan perang, memikiki harga damai yang berbeda dengan orang-orang yang besar di negara yang aman.

Orang-orang yang besar di negara dunia ketiga, memiliki harga kenyang yang berbeda dengan orang-orang besar di negara dunia pertama.

Harga sebuah keadilan untuk orang-orang yang terbiasa dengan birokrasi kotor dan licik juga berbeda dengan orang-orang yang terbiasa dengan birokrasi yang bersih dan jujur.

Semua baik dan buruk, itu hanya masalah didikan dan pedoman.

Tapi, jangan lupa ada zona yang gue beri nama zona abu-abu. Zona yang gak baik juga gak buruk.

Seperti, memberikan uang kepada pengemis. Menurut hukum itu ilegal, tapi menurut masyarakat itu suatu hal yang baik.

Juga, merokok dengan meminta izin, beberapa daerah menetapkan ada beberapa kawasan yang harus bebas rokok. Tempat ibadah, lingkungan sekolah, RS, dan lain-lain. Tapi bagaimana jika perokok meminta izin terlebih dahulu? Lagi, ini zona abu-abu, bung.

Zona abu-abu ini terkadang, jika tidak dilakukan benar dan jika dilakukan tidak apa-apa, berlaku sebaliknya, jika tidak dilakukan tidak apa-apa jika dilakukan benar.

Zona abu-abu ini masih konsepsi dasar saya sendiri sih. Masih banyak cacatnya.

Yah, pada akhirnya kembali lagi tentang didikan.

Apa yang diberikan ke dalam kepala, juga akan memiliki pengaruh ke pola pikir.

Baik dan buruk hanya masalah perspektif dan itulah harga sebuah didikan.

Salam hangat, Kevin Jordanus.

Wednesday, September 9, 2015

Aturan Nomor Satu.

Enaknya jadi orang-orang beragama, for christ sake, orang beragama itu enak banget.

Gue kristen dari lahir, Tuhan gue Yesus, gue mengakui keberadaan Tuhan dan percaya adanya surga.

Tapi, untuk beberapa alasan rasanya aneh mengatasnamakan Tuhan karena manusia tidak mampu. Dalam beberapa kasus, hal ini sering terjadi.

Bahkan Dewa 19, dalam lagunya, Atas Nama Cinta, ada lirik yang seperti ini, "atas nama cinta saja// jangan bawa nama Tuhan..." maksud gue, Ahmad Dhani yang ngetweet mau potong penis kalo Prabowo gak jadi presiden masih punya akal sehat, sedikit.

Mengatasnamakan Tuhan karena ketidakmampuan diri sendiri, gue gak punya kata yang pas untuk orang-orang kayak gini, bahkan tolol aja gak cukup hina untuk mendefinisikan mereka. Maaf.

"Gue gak masuk PTN nih, padahal udah belajar keras, doa mulu." Itu mah lo aja yang goblok.

"Gue gak bisa main instrumen apapun nih, bahkan rekorder sama pianika. Padahal gue udah latian sama berdoa." Itu mah lo aja yang gak punya sense of music, FYI, gue bisa main rekorder kalo nada dasarnya do=C.

"Kok dia gak mau sama gue ya? Padahal gue udah deketinnya udah lama. Padahal gue udah bawa nama dia di doa gue." Itu mah dia emang gak tertarik sama lo, atau lo emang gak menarik.

Jangan salah paham sama gue, gue percaya sama kuasa doa. Tapi untuk beberapa kasus, coba pake akal sehat deh.

Ada beberapa contoh terkadang doa itu gak berhasil, seperti, doa 7 hari 7 malem, disiarkan di tv nasional dan kemudian percaya nilai tukar dollar akan turun. Gitu.

See, kadang lo butuh usaha, kadang lo juga butuh tau limit lo sampe mana. Jangan sampe udah sok-sok 'break the limit.' terus gak bisa, terus nyalahin Tuhan. Maaf, bukan nyalahin Tuhan, mengatasnamakan Tuhan atas ketidakmampuan diri sendiri. 

Untuk kasus yang gak bisa dipahami akal sehat lo, coba bikin re-search kecil-kecilan. Masih gak ngerti? Mungkin emang otak lo kekecilan, maaf, sel-sel otak lo fungsinya gak bagus.

Maksud gue adalah, jangan coba pahami hal yang gak mau lo pahami, apalagi udah sok-sok mau paham tapi ujungnya ngomong, "emang Tuhan maunya begini.", biji kuda.

Karena aturan nomor satu adalah, jangan pernah mengatasnamakan Tuhan untuk ketidakmampuan diri sendiri.

Sisa aturan lainnya? Jangan menyalahkan siapapun dan apapun.

Best Regards, Kevin Jordanus.

Saturday, September 5, 2015

Portofolio.

Di mohon kesediaannya buat komen, monggo.

Gue gak pake pylox... terakhir gue ngepylox hasilnya ancur, beneran ancur. Gue pake cat exterior, alat yang gue pake, uhm, rahasia pabrik. Ehe.

Tuesday, September 1, 2015

Jatuh Cinta

I fall in love way too easy. *sigh*

Gue pertama kali jatuh cinta tuh waktu umur gue 5 tahun, pas lagi nonton Captain Tsubasa. Gue langsung jatuh cinta sama apa yang gue tonton, dan sampe sekarang gue masih jatuh cinta tiap ketemu goresan aksennya Yoichi Takahasi, entah di anime atau komik. Waktu itu juga gue mulai ngegambar, belajar ngegambar.

Urusan jatuh cinta sama cewe, ada beberapa, tapi gak seberapa, gue rasa jatuh cinta gue sama komik dan sastra lebih gede ketimbang jatuh cinta sama cewe. *another sigh*

Pertama kali gambar gue mendingan, ya baru akhir-akhir ini aja. Soalnya baru akhir-akhir ini gue nemu gaya yang pas sama kemampuan tangan gue. Bayangin, dari umur 5 tahun, gambar gue baru mendingan pas gue menjelang 18 tahun. Lama juga gue jatuh cinta sama dunia gambar-menggambar ini.

Dan jatuh cinta di dunia gambar ini gak murah, makanya gue milih buat main di warna hitam putih. Bukan main di banyak warna, apalagi banyak jenis pewarna. Bisa gak makan gue kalo gue nekat main warna selain hitam putih. Niatan mah ada, tapi, know when to fold is important as never give up. Gue lupa itu kalimat siapa.

Sama kayak dunia gambar, dunia sastra juga gak murah. Iya, soalnya gue gak suka roman yang isinya cuma dialog kayak yang suka dishare di line. *sigh, again.*

Pertama kali gue nyoba baca selain buku pelajaran dan komik waktu kelas 3, buku pengetahuan umum gitu. Karena bahkan gue baca komik mulai dari gue lancar baca, kelas 1 sd kalo gak salah. Kemudian gue menemukan novel Harry Potter, buku pertama, gua coba baca. Kepala gue meleduk. Gak kuat. Itu buku ketebelan. Gue vakum baca novel sampe kelas 8 smp, trauma ringan tiap ketemu novel yang ketebalan. Shame on you, J.K. Rowling.

Koleksi novel gue gak sebanyak koleksi komik gue. Koleksi komik gue itu lebih dari 100 buku ada kayaknya. Gue gak ngitungin juga. Ada juga beberapa buku karya ilmiah gitu, dikit banget, sebuku kalo gak salah. *pardon my bad jokes, sigh.*

Sama aja sih, sayang sama orang juga gitu. Butuh waktu, butuh uang, butuh ngorbanin beberapa hal. Mungkin masih ada orang bodoh yang ngorbanin semua hal buat orang yang dia sayang, gapapa. Bukan urusan gue.

Ada trauma-trauma ringan karena hal yang dicintai itu wajar. Kayak gue yang trauma tiap ketemu novel yang ketebelan. Tapi ya jangan karena trauma kecil itu malah bikin gak mau mencinta lagi. Halah.

Namanya juga jatuh cinta, yang namanya jatuh kan pasti sakit, gitu.

Lagian, orang lemah macem apa yang mau terus-terusan hidup dalam trauma? Hidup situ drama?

Drawing stuf and books do not hurt me, but hurt my wallet, real bad. Ya, real bad. But dear, you hurt my feelings real bad. *take a deep breath, do another sigh.*

Orang yang lagi seneng berdehem, Kevin Jordanus. *do sigh, properly.*

Thursday, August 27, 2015

Yang Harus Diubah Dari Bangsa Ini. (4)

Akhirnya sampe juga di penghujung Agustus, yang artinya gue ternyata bisa juga bikin seri tulisan. Sebulan penuh coy, sebulan! Total sama post ini ada 7 post yang gue tulis di bulan Agustus ini. 3 tulisan lainnya gak masuk seri tulisan ini. Indonesia Butuh Komedi Cerdas, Merindu, dan Someone Who is In The Other's Arm. Itu gak termasuk seri tulisan ini, iyalah judulnya aja beda.

Oke udahan nyombongin hal standar seperti nulis 7 biji tulisan yang biasa banget.

Beberapa hari lalu indonesia ngerayain ulang tahun yang ke-70, tapi masih banyak orang yang gak pede sama Indonesianya. Gak pede sama apa yang dimiliki bangsanya.

Sampe sekarang gue masih sering mendapati orang-orang yang ngetik pesan dengan kalimat yang disingkat seenak jidat. Lebih parah, ngegunain tanda baca gak pada tempatnya. Gue dulu masuk golongan kayak gitu, iya, pas jaman hape gue esia, jelaslah gue nyingkat pesan yang gue kirim, satu karakter satu rupiah, cuy. Ngirit.

Di era ngirim sms udah dihitung per sms yang dikirim, kurang-kuranginlah nyingkat kata seenak jidat. Atau, di era yang di mana app pengirim pesan udah banyak banget, dari BBM sampe Line yang udah pake kuota, kurang-kuranginlah nulis kalimat pake tanda baca yang gak tepat dan janganlah pake angka untuk pengulangan.

Juga beberapa orang yang gak paham nulis kata 'di' sebagai imbuhan atau sebagai kata penghubung. Ekstremnya gini,

"Gue lagi di ewe", artinya si gue sedang berada di tempat yang bernama ewe.

"Gue lagi diewe", yah silakan simpulkan sendiri.

Dan kata sepenglihatan dan pengamatan gue, masih banyak orang yang lebih pede dengan titel sarjana bahasa asing ketimbang bahasa indonesia. Ya sepenglihatan gue aja sih.

Karena berbahasa yang baik dimulai dari hal-hal kecil. Seperti dua hal tadi yang gue tulis. Gak masalah sih kalo lo gak mau ngerubah cara berbahasa lo, tapi suatu saat pasti lu butuh berbahasa yang baik, berbahasa dengan bahasa indonesia yang baik dan benar, tentu.

Ya silakan komentar tentang cara berbahasa gue di blog gue, atau di mana aja lo liat gue dengan tulisan gue. Tapi ya berkomentarlah dengan bahasa yang baik dan benar, gue nulis apapun soalnya susah loh, bahkan tweet yang isinya cuma 140 karakter.

Kalo lo masih sering ketuker kalo nulis di ewe sama diewe. Mending jangan komentar dulu, ya. :)))

Bukan mahasiswa Sastra Indonesia apalagi ahli kesusastraan, Kevin Jordanus.

Someone Who is In The Other's Arm

Didekikasikan untuk orang-orang yang pernah atau sampai sekarang masih ada di hidup saya. Untuk orang-orang yang pernah memiliki cerita bersama saya, entah siapapun anda, yang mungkin pernah bertemu di suatu tempat tanpa mengenal nama satu sama lain atau yang sudah mengenal satu sama lain.

Untuk setiap memori yang pernah saya dan anda alami, yang mungkin membekas sampai sekarang atau bahkan hanya dianggap bagian dari masa lalu yang tidak ingin diulangi dan tidak ingin diingat.

Terima kasih, anda.

Thanks for being there
To be there in my brightest day
Or even
In my most gloomy day

Thanks for loving me
Even though i am bad
Even though i make you sad too often
Even though i do not see your effort

Thanks for accepting me
Accepting me as a lover
As a friend
Or even
Accepting me as an enemy

Last but not least

Thanks for everything
For fullfilling my day
Thanks for everything which we've done together
Thank you, someone who is in other's arms.

Friday, August 21, 2015

Yang Harus Diubah Dari Bangsa Ini. (3)

Banyak orang Indonesia yang suka komentar, apa aja dikomentarin. Mulai dari cara hidup orang sampe headline berita.  Semuanya dikomentarin. Mari kita sebut golongan ini Si Jari Cepat.

Tenang ini bukan tulisan sok nasionalis, ini masih dari keresahan gue yang beberapa bulan belakangan ini mencuat begitu aja dari batin dan sanubari. Halah.

Gue dulu juga masuk golongan itu, yang apa-apa komentar, yang apa-apa sok kontra, padahal belum tau isi dari hal yang gue komentarin. Sekarang gue udah tobat, bukan gue gak jadi gak ngomentarin, masih, cuma komentar gue datang setelah tau isi permasalahannya. Jadi gue gak cuma tau kulit permasalahannya, gitu.

Nah, kebanyakan orang Indonesia maaih banyak yang asal komentar, yang penting keliatan keren ngomentarin banyak hal, padahal gak tau isinya apa. Jujur sih gue kasian sama orang yang begitu.

Mari kita kerucutkan masalah Si Jari Cepat ini, komentar mereka tentang headline artikel berita. Berita apa aja.

Gue pernah nemu headline dari akun @TIME di twitter. Headlinennya gini "Green Tea Cigar is Now a Thing", yang langsung ada di kepala gue itu rokok rasa green tea. Trus gue langsung pengen nge-quote tweet itu dengan kalimat ini, "Tuhkan, sekarang semua greentea. Dari sunlight ampe rokok ada greentea-nya. Monyiet.", untung gue udah tobat, gue buka link artikelnya, gue baca artikelnya. Ternyata cina udah rilis rokok yang bahan dasarnya bukan tembakau, tapi dari daun teh hijau yang dikeringin. Yah mirip-miriplah. Jadilah gue nge-quote tweetnya jadi, "whats wrong with u china." Gitu.

Paham gak bedanya? Belum? Oke ada lagi.

Gue sempet ngeliat juga headline, masih dari twitter, dari akun @mysupersoccer. Itu akun emang rada ngehe sih. Headlinennya gini kalo gak salah, "Rooney Akan Segera Berseragam Everton." Gue mikirnya Rooney bakal hengkang dong dari MU, udah seneng tuh gue, pas gue baca, taunya Everton mau bikin charity match, nah rooney jadi salah satu pemainnya. Ya... gak salah juga headlinenya. Lucunya lagi langsung banyak akun yang mention @mysupersoccer bilang artikelnya ngaco, gue yakin, ini orang belom baca artikelnya.

Seharusnya lo udah paham bedanya.

Sekarang Indonesia udah merdeka 70 tahun, sekarang udah tahun 2015 juga, semoga berkurang deh orang-orang yang masuk golongan Si Jari Cepat atau seenggaknya kita dijauhkan dari Si Jari Cepat. Ada amin?
.
.
.
Aminnya gak masuk sekolah, pak. Oke maafkan humor receh saya. Indonesia butuh humor cerdas, hidup humor cerdas!

Semoga kita dijauhkan, kalo ternyata lo masih masuk golongan itu, cepatlah bertobat. *insert smile emoji here.*

Salam hangat, Kevin Jordanus.

Wednesday, August 19, 2015

Merindu

Malam ini, di mana aku berdiri, aku merindu, merindu tentang kita.

Aku masih ingat bagaimana kita bertemu, imajiku lari tanpa tujuan ketika mataku menangkap wajahmu yang dulu mengenakan seragam. Sungguh, aku rindu pemandangan itu.

Juga bagaimana kita menghabiskan waktu, berbicara tentang kenapa kita bisa bersama, di koridor sekolah, lengkap dengan wajah lusuh setelah seharian belajar. Lagi, aku rindu momen itu.

Tentang janji-janji yang kita keluarkan ketika kita bersama, ketika hormon endorfin dilepaskan secara membabi buta. Sampai 70 tahun ya, katamu waktu itu. You know, i just love the way you tell me your sweetest lie, dear.

Dan caramu mengeluarkan kalimat, ketika jemarimu mendadak dingin ketika kau sedang gugup, atau tentang tanganmu yang sering bergetar tanpa sebab. Juga, senyum dan tawamu. Masih, aku merindu tentang detil sikap dan kebiasaanmu.

Aku, merindu tentang setiap inci tubuhmu, setiap detil gimmick-mu, apapun tentangmu.

Aku, merindumu, merindu tentang kita, yang dahulu.

Saturday, August 15, 2015

Yang Harus Diubah Dari Bangsa Ini. (2)

Setelah minggu lalu udah ada post dengan judul yang sama, gue kepikiran untuk nerusin judul ini sampai akhir Agustus nanti. Sebulan penuh dengan judul yang sama, ini kali pertama gua bikin seri tulisan kayak gini. Semoga ada bahan observasi yang menarik. Doain aja.

Minggu lalu budaya mengalah, lumayan menarik sih kalo gua baca lagi. Ini gue pede amat ya jadi orang. Minggu ini mungkin lebih ringan, bukan budaya, cuma segelintir sikap orang-orang Indonesia, takut berargumen, takut menyampaikan apa yang ada di pikirannya.

Kebanyakan orang Indonesia takut berargumen, takut argumennya gak diterima oleh masyarakat atau dalam lingkup lebih kecil, takut argumennya gak diterima di kalangan orang yang kenal dengan si pembuat argumen. Satu hal yang gua pengen kasih tau, kebebasan berbicara udah ada aturannya di UUD 1945, udah ada dasar hukumnya. Gak percaya? Silakan cek sendiri UURI No.9 tahun 1998, dijelaskan secara detil 20 pasal, serius, cek aja. Untuk referensi, liat juga UUD pasal 28 tentang kebebasan mengemukakan pendapat, berkumpul dan berserikat.

" Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku." -UURI No.9 tahun 1998, bab 1/ pasal 1/ ayat 1.

Dengan catatan argumen lu tidak mencemarkan nama baik, kalaupun lo pengen menjatuhkan seseorang tapi tetep santai, ganti aja objeknya jadi anonim, gampang toh? Oke ini jangan ditiru, tolong. Ntar kalo ditanya siapa yang ngajarin nyalahinnya gue.

Kenapa harus takut jika udah ada dasar hukum? Oh, takut ada yang ngomong, "gak semua suka argumen lu, bung." oh ya tentu, tapi masih ada yang setuju biarpun sedikit. Ayolah, jangan takut buat mengeluarkan pendapat. Apalagi pendapat lu berbobot atau lebih sederhananya berniat menghibur.

Untuk catatan, ketika mengeluarkan argumen, siap-siap aja ada komentar-komentar 'lucu', tapi santai aja, itu cara dunia ini bekerja. Karena pada dasarnya gak semua orang suka ketika masalahnya disinggung dengan sengaja atau tidak sengaja.

Semoga menjelang kemerdekaan RI yang ke-70 kita dihindarkan dengan orang-orang yang takut berargumen, serta barisan para mantan yang menganggap dirinya mantan tunggal. Bulutangkis kale segala tunggal.

Ijinkan saya mengutip satu kalimat berbahasa inggris yang saya lupa nama yang mengeluarkan kalimat ini.

"If no one hate you, you just done something wrong."

Mungkin ada yang tau siapa?

Pemuda yang tidak pernah takut untuk berargumen (yang dilanjutkan dengan kalimat sarkastik, tentu), Kevin Jordanus.

Saturday, August 8, 2015

Yang Harus Diubah Dari Bangsa Ini.

Agar tulisan ini terkesan berbobot gua pake kata saya sebagai kata ganti orang pertama ya. Iya. Aha, cuma bercanda kok.

Indonesia identik banget dengan orang-orang (yang katanya) baik, ramah, suka menolong dan berbagai macam kebaikan yang sedap dipandang dan enak untuk didengar. Padahal kalau dikaji lebih dalam, ini hasil psikologis dari negara bekas jajahan, iya, merasa rendah di hadapan orang yang superior. Sebut aja, orang kaya, orang yang berpendidikan tinggi, anak kecil, juga nenek-nenek renta. Kenapa ada anak kecil dan nenek-nenek renta? Karena mereka bisa tiba-tiba bisa jadi superior apabila: 1. Si anak kecil nangis jungkir balik, 2. Nenek-nenek renta ini sakit jantungnya kumat, dan berbagai macam contoh lainnya.

Izinkan saya membeberkan beberapa hasil observasi saya.

Indonesia dijajah Belanda 350 tahun, oh tentu itu bukan waktu yang singkat. Tapi yang jelas Belanda menduduki Indonesia lebih dari 350 tahun. Saat pertama kali Belanda dateng ke Indonesia, itu buat nyari rempah-rempah. Jangan bilang gua sok tau, itu ada di buku pelajaran SMP, bahkan SD.

Dan lihat dampak setelah 350 tahun dan 69 tahun setelahnya, orang Indonesia gak punya kepercayaan diri yang tinggi kalo belom mapan, kalo belom punya mobil, kalo belom punya apartmen di agung podomoro land. Rakyat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah jadi minder. Jelas banget, ketara deh pokoknya.

Gua harusnya jadi salah satu orang yang minder itu. Harusnya. Gua cuma tamat SMA, gua masih tinggal di rumah bekas almarhum kakek gua, dulu uang jajan gua pas SMA cuma 25 ribu, termasuk ongkos, uang makan dan tetek bengek yang tiba-tiba sekolah keluarkan. Harusnya gua minder, harusnya gua cuma manggut-manggut sama orang yang lebih kaya dari gua, harusnya.

Dan satu hal yang bisa saya sadari, psikologis rakyat Indonesia yang dulu merasakan jaman penjajahan, turun ke anak cucunya. Menurut gua ini salah satu gangguan kejiwaan, budaya mengalah. Mengalah sama yang lebih kaya, budaya mengalah sama yang lebih tua, mengalah sama yang lebih muda. You name it.

Pakai gua sebagai salah satu contoh kasusnya.

Gua sering pergi naik KRL, gua tau sumpeknya KRL itu gimana, tau banget. Dapet duduk di gerbong yang penuh itu enak banget. Enak banget. Dan beberapa minggu lalu ada kejadian, gua dari stasiun Duri mau ke stasiun Depok Baru. Gua udah dapet tempat duduk, udah enak, udah nyaman. Kemudian ada satu nenek, linglung gitu, di sampingnya ada orang abis ngantor, bapak-bapak. Nah bapak tersebut langsung ngeliat gue, minta gua berdiri biar si nenek ini duduk. Dan ya kelanjutannya gua berdiri, si nenek ini duduk. Tapi sebelum berdiri gua kasih argumen sama bapak ini. Gini bunyinya, "pak maaf. Ini kursi umum, kursi prioritas ada di ujung rangkaian. Hak eksklusif nenek itu ada di sana, bukan di sini." Dan kemudian si bapak jawab, "lu masih muda aja banyak bacot. Udah berdiri aja apa susahnya sih." Dan ya, gua berdiri.

Sebenarnya sih gua bakal dipandang sebagai anak muda yang baik hati apabila gak menyampaikan argumen gua. Tapi inilah bahaya latennya. Orang Indonesia pinginnya dikasihanin.

Gua tau kapan gua harus mengalah. Gua tau persis kapan. Dan jangan suruh gua mengalah untuk hal yang gua gak mau. Dan harusnya, orang Indonesia lainnya juga begitu. Paham di mana dan kapan harus me-klaim haknya, bukan minta dikasihani buat me-klaim haknya.

Banyak budaya yang sekilas terlihat baik, tapi secara gak sadar malah merusak sesuatu yang baik, kasus gua tadi contohnya. You can call me cold hearted, now.

Bahayanya lagi, budaya ini berkembang jadi pola pikir. Yang kalo gak dilakukan bisa membawa rasa bersalah dalam batin. Banyak yang harus diubah di negara ini. Bukan cuma infrastuktur dan ekonomi aja, pola pikir juga sama pentingnya dengan infrastruktur dan ekonomi.

Pahami hal-hal tentang budaya kita yang ternyata itu adalah hasil dari ketakutan masa lalu. Gua gak akan contoh negara maju manapun, tapi satu hal yang gua tau, negara-negara maju itu tau kapan harus melakukan kewajiban dan menagih hak, juga gak terikat dengan kebiasaan-kebiasaan lama.

Bukan mahasiswa dari universitas manapun, Kevin Jordanus.

Tuesday, July 28, 2015

Indonesia Butuh Komedi Cerdas

Kesampingkan dulu masalah @dagelandotco yang baru saja meminta maaf beberapa hari lalu karena dianggap melanggar HAKI. Ya, kesampingkan dulu.

Gua sebagai anak laki-laki berumur 17 tahun, merasa beruntung masa-masa kecil gua dihabiskan di tahun 2000. Merasa beruntung aja, 2 televisi swasta waktu itu masih menyiarkan semacam marathon kartun di tiap hari minggu, dan sekarang 2 televisi itu, yang satu menampilkan naga dan satunya lagi menampilkan manusia yang bisa berubah jadi harimau. Ini termasuk degradasi di bidang pertelevisian sih, menurut gua.

Waktu tahun 2000 televisi di indonesia masih gencar menyiarkan film-film dari warkop DKI, biarpun termasuk komedi slapstick, mereka berhasil nunjukin bahwa komedi slapstick di jaman itu bukan hal kampungan.

Mari kita cek beberapa tahun lalu, saat 2010 berganti jadi 2011 sampai sekarang.

Selera humor rakyat Indonesia semakin terdegradasi, masih menurut gua, sih. Rakyat Indonesia lebih suka ngetawain hal-hal receh, bukan berarti gua gak ngetawain hal-hal receh, ya. Gua juga ikut ngetawain hal-hal receh, tapi yang recehnya menengah ke atas.

Gua buka path, ada aja yang nge-share rage comic ala-ala. Lucu sih, tapi ya cuma sekedar bikin senyum bukan ngakak, sorry, maksud gua ketawa lepas. Ngakak kesannya barbar banget.

Waktu itu komedi tunggal belum seheboh sekarang, iya, stand-up comedy maksud gua. Komedi tunggal itu komedi cerdas. Lu gak bisa ketawa kalo lu gak ngerti apa permasalahan yang dibawain si komika.

Lalu apa masalahnya? Apa masalah ngetawain hal-hal receh sama nggak? Apa masalahnya kalo gua gak ketawa pas lagi nonton komedi tunggal?

Gua percaya, selera humor seseorang itu berbanding lurus sama tingkat intelektual seseorang. Inget, berbanding lurus, bukan berbanding terbalik.

Indonesia butuh komedi cerdas, untuk mentertawakan hal-hal yang masih dianggap tidak patut di tertawakan. Contohnya apa? Gampang, presiden kita. Jokowi. Banyak komika yang sekarang membawa argumennya tentang pemerintahan Jokowi dengan gaya yang bisa diketawain. Sampe sini, ngerti gak, udik?

Gua suka komedi yang dibangun dari premis dan diakhiri dengan punchline. Tapi tetep, gua gabisa nolak ketawa kalo ngeliat orang jatoh terus kepalanya bocor, yah walaupun ujung-ujungnya gua bantuin sih. Namanya juga ketawa, ketawa itu refleks kalo kata mas @pandji.

Akhir kata, biar selera humor pembaca rada meningkat, gausah banyak-banyak, dikit aja. Ini beberapa komika yang sering gua tonton... via youtube.

@pandji, @ernestprakasa, @notaslimboy.

Viva la komtung!

Bukan komika, Kevin Jordanus.

Tuesday, July 21, 2015

Super Over-head Kick

Bagi gua, masa-masa menyenangkan adalah ketika gua bisa tidur di kasur rumah gue, beralaskan bantal yang sepreinya bau iler kecampur keringet gua. Ini kesannya menjijikan banget ya, tapi menurut gua itu adalah hal yang paling bikin gua cepet tidur.

Tapi ada juga hal-hal yang bikin gua susah tidur, seperti, ngoroknya adek gua. Gua gak sadar sejak kapan dia bisa ngorok, gua juga gak mau tau sih. Tapi ngoroknya adek gua itu berisik banget, asli. Jadi, mau gak mau gua harus tidur sebelum adek gua tidur dengan ngoroknya yang dahsyat itu.

Beberapa hari lalu gua melakukan kesalahan fatal, ya, begadang buat bikin naskah cerita. Padahal naskahnya cuma mentok 8 page microsoff word. Tenang, gua ngerti kok cara ngetik yang baik dan benar. Font size 12, font type Times New Roman. Iya kan?

Kemudian gua masuk kamar, mendapati adek gua udah terlelap komplit dengan suara ngoroknya dia yang dahsyat.

Gua gelisah, gua gak bisa tidur, bolak-balik badan, bolak-balik bantal, bolak-balik kasur. Soal bolak-balik kasur gua becanda. Yah gitulah, pokoknya gua gak bisa tidur denger ngoroknya dia.

Akhirnya gua coba setel lagu dengan posisi kepala gue bersebelahan dengan kakinya dia. Lagu gua pilih yang santai-santai gitu, volumenya juga gak full, entah adek gua ini makan apaan tadi, ngoroknya makin menjadi. Setan.

Gua coba meremin mata, goyang-goyangin kaki sambil bolak-balik badan. Ini sebenernya gua lagi SKJ apa nyoba tidur, sih.

Gua udah mulai pules, kemudian gua ngebalik badan gua, kaki gua ikutan, serta diiringi suara "JDUK!". Ya, kaki gua mendarat di hidung adek gua. Hidung adek gua pendarahan, bahasa kampungnya mimisan.

Dia bangun, buka pintu, dia sadar kayaknya kalo dia mimisan. Dan batin gua bersorak kegirangan, "akhirnya dia bangun! Akhirnya gak ada yang ngorok!". Dengan sok innocent gua nanya dia.

"Neth, lo mimisan?"

"Iya, nih, ko."

"Udah berenti?"

"Belom, tapi udah disumpel tissue."

Lah... dia masih mau ngelanjutin tidurnya dengan kondisi mimisan. Entah monster tidur macam apa adek gua ini.

Over-head kick gua gagal, dia langsung pules beserta ngoroknya. Dan sepanjang perjalanan gua tidur, gua dengerin album Coldplay, Ghost Stories, sambil diiringi senandung ngorok adek gua. Sial.

"And if you were to ask me... GROOOK. // after all that we've been through... GROOOK. // 'do you still believe in magic?'... GROOOK. // Well, yes, i do."

Ya, entah kenapa, lagu magic-Coldplay di malem itu terdengar sangat gak menyenangkan. Mungkin lain kali gua bakal coba super over-head kick, biar sekalian pingsan, gitu.

Bukan kakak yang baik, Kevin Jordanus.

Saturday, July 18, 2015

Antara Saya dan Imaji Tentang Anda

"Got a tatoo said together thru' a life

Carved your name with my pocket knife

And you wanna when you wake up

You wanna be alright"

-Ink, Coldplay

Sebelumnya mari kembali ke beberapa tahun lalu. Agustus 2014.

Prolog: Me

Saya seorang laki-laki, Full-time student, bercanda. Bahkan saya tidak terlalu pintar untuk ukuran anak yang tidak pernah bolos sekolah.

Saya menghabiskan waktu saya di tongkrongan, rumah, sekolah dan sedikit dari waktu saya, saya habiskan di tempat ibadah.

Saya bukan tipikal laki-laki yang melulu mencari perempuan untuk diajak menjalin hubungan, but indeed, i need a serious relationship.

Juga bukan tipikal yang menghabiskan waktunya untuk hal-hal tidak berguna. Percayalah, saya paham tentang hal-hal yang anda tidak paham, begitu juga sebaliknya.

Prolog: You

Saya kenal anda, setidaknya tau. Anda adik kelas saya yang baru masuk di tahun ajaran 2014/15. Angkatan 27. Bukan masalah jika saya tidak mengetahui anda, tapi saya malah ingin mengenal anda, bukan sebagai kakak kelas, tapi sebagai laki-laki.

Malam itu tidak ada yang berbeda, harusnya. Saya mengirim BBM request kepada anda, saya tau, saya yang harusnya memulai percakapan, tapi malam itu anda yang memulai percakapan lebih dulu. An unusual night, for me.

"Yes. Ini siapa?" Dari anda, membuat malam itu jadi sangat berbeda. Belum ada kita, masih saya dan anda. Belum terlintas juga akan ada kata kita nantinya.

Rasanya, anda berbeda. Rasanya, i can fit you perfectly, tapi saya tidak tau bagaimana perasaan anda terhadap saya. Aneh. Kind of weird feelings.

Prolog: Us

Sudah hampir 1 bulan sejak percakapan di malam itu. Sudah hampir 1 bulan juga saya memantapkan perasaan saya untuk anda, dan tetap saya belum mengetahui bagaimana perasaan anda terhadap saya.

28 Agustus 2014, bukan jadi hari yang terlampau berkesan untuk saya. Kemarinlah hari yang berkesan.

Ya, kemarin. Kemarin kita memulai hubungan. Kemarin, menurut saya akan jadi hari yang akan selalu berkesan. Ya, menurut saya.

Sebelum akhirnya di tanggal 28, saya pergi untuk seminggu, menuntaskan tugas dari sekolah.

Akhirnya ada kita.

Epilog: Us

Karena terkadang realita tidak seindah imajinasi dua remaja bodoh yang sedang kasmaran. Nyata semua tidak terlalu mulus untuk kita. Terlalu takut, mungkin. Atau memang belum masanya, belum masanya untuk berjalan beriringan.

Terlampau banyak ego dan imaji yang dipaksakan. Saya dengan keinginan saya, dan anda dengan keinginan anda.

Saya dan keinginan saya untuk bertahan, serta anda dengan ketidak-tahanan anda  terhadap ego saya. Atau mungkin, posisinya terbalik. Saya yang sudah tidak ingin bertahan.

Semuanya terkesan dipaksakan, dari hal yang paling sederhana sampai hal yang terlampau rumit. Semuanya terkesan dipaksakan.

Sampai kalimat terakhir yang anda berikan untuk saya, rasanya masih dengan perasaan yang dipaksakan. Kalimat yang harusnya anda keluarkan dengan rasa tulus, akhirnya jadi kalimat dengan kesan dipaksakan.

Ya, seakan memaksa untuk berharap semua akan baik-baik saja.

Dan di akhir semua ini, kembali lagi, hanya ada anda dan saya, tanpa kita.

Epilog: You

Anda terlihat baik, cenderung tidak memikirkan apa yang telah terjadi. Saya tidak melihat kesan dipaksakan dari anda, sesuatu yang sudah tidak saya lihat menjelang berakhirnya kita.

Menjalani hidup sebagai perempuan berumur 16 tahun.

Sejujurnya, saya selalu jatuh cinta setiap melihat anda tersenyum. Bukan hal baru untuk saya, tapi senyuman anda rasanya berbeda. Mungkin hanya imaji saya yang memaksa saya untuk jatuh cinta setiap melihat anda terseyum.

Oh hey, you. I wish you well.

Then i hope you don't see the silent hell in those words. I hope.

Epilog: Me

Saya, akhirnya menyelesaikan sekolah menengah akhir saya. Akhirnya saya keluar dari tempat di mana saya dan anda bertemu. Sambil berharap waktu bisa menyembuhkan semua luka yang saya dan anda rasakan.

Saya tidak melanjutkan studi ke universitas manapun, menurut saya pelajaran bisa didapat di manapun, termasuk di gorong-gorong kota yang mungkin lebih dikenal dengan nama kolong jembatan.

Tapi tidak, saya tidak meneruskan studi di gorong-gorong kota meskipun itu tempat yang cukup baik untuk mendapatkan pengalaman serta ilmu yang berarti untuk kehidupan. Terlalu busuk baunya.

Saya menjalani hidup seperti remaja 17 tahun pada umumnya. Bukan dengan hidup yang terlalu wah, bukan juga dengan hidup yang terlalu miskin. Standar.

Ya, standar. Tanpa kita, tanpa anda, hanya saya dan imaji saya tentang anda.

Friday, July 17, 2015

Budi Mulia Cup

Pertama kali gua masuk SMA gua excited banget, ternyata sekolah gua gak cupu-cupu banget. Ternyata SMA gua juga punya acara tahunan yang lumayan besar. Iya, gua menunaikan wajib sekolah 12 tahun di SMA Budi Mulia Bogor. Eh, wajib sekolah itu 9 apa 12 sih?

Ternyata pas gua kelas 10, BM Cupnya gak jadi. Diganti sama pensi yang -uhm maaf- gak layak dibilang pensi. Kecewa? Jelas. Kesel? Apalagi. Ini gua abis diputusin apa gimana ya sebenernya.

Akhirnya gua kelas 11, untuk pertama kalinya gua ikut organisasi di sekolah. Iya, gua jadi panitia BM Cup IX. Cemen sih, cuma jadi panitia keamanan. Tapi gapapa, namanya juga nyari pengalaman.

Yang gua gak abis pikir, kenapa gua ditunjuk jadi panitia keamanan. Dari sisi manapun gua gak cocok jadi panitia keamanan. Badan kerempeng, muka cina luntur, ngomong kaga bisa ngebentak, boro-boro ngebentak ngomong biasa aja cengengesan.

Jalannya acara sih lancar jaya, semua sesuai rencana ibu ketua, iya ketua BM Cup IX itu cewe, namanya Zita. Semuanya lancar. Mungkin karena gua gak tau apa-apa jadi ngiranya semuanya lancar. Yah pokoknya lancar.

Beberapa bulan setelah BM Cup IX selesai, gua syok. Ini beneran syok. Kata-kata gua yang gua pikir becandaan, diseriusin sama Zita. Iya, gua waktu itu dengan cengengesan bilang, "yaudah, gua aja yang jadi ketua BM Cup X.". Damn you, zit.

Akhirnya jadilah gua ketua BM Cup X merangkap jadi ketua osis II. Gua mulai milih-milih struktur keanggotaan, mulai belajar tata cara aturan basket, belajar bikin turnamen, dan segala tetek bengeknya, gua beneran belajar semua dari 0.

Anak yang dulunya cuma panitia keamanan, eh malah jadi ketua panitia. Bingung gak lo?

Setelah kelar milih siapa-siapa aja yang jadi panitia, akhirnya mulai ngurusin sponsorship sama ngurusin perizinan.

Gua jadi ketua BM Cup X itu kelas 12, dan gua juga bukan orang yang suka ninggalin kelas buat dispensasi yang ujungnya cuma ngegabut. Percayalah, gua bukan orang kayak gitu, kecuali emang gurunya gua ga suka, yaudah gua cabut. He he he.

Bulan demi bulan udah lewat, dari persiapan yang cuma milih-milih anak orang jadi panitia, eh sekarang udah tinggal menghitung hari. 18-25 Oktober 2014, BM Cup X resmi diselenggarakan. Saik.

---

Sampe sekarang, kalo gua inget-inget ternyata gua pernah dipromosikan sejauh itu rasanya epik banget. Serius.

Dari anak sma yang biasa aja, bahkan cenderung biasa banget. Sampe akhirnya gua jadi ketua panitia BM Cup X. Menurut gua itu lompatan yang tinggi banget.

Jadi, gimana kehidupan SMA lo? Cuma dateng-belajar-pulang? Percaya sama gue, lo bakal malu nanti kalo anak lo ada yang nanya gimana SMA lo.

Masih pake cinta, Kevin Jordanus.

Sunday, July 5, 2015

Mencacilah dan Memakilah

Kita hidup di era dimana kalo gak update bakalan dibilang kuper, bahkan di era dimana kalo melakukan sesuatu yang "tidak dilakukan oleh kelompok mayoritas" maka dianggap sebagai sesuatu yang salah.

Sederhananya gini, lo udah urus perizinan reklame sama pihak yang berwajib tapi lo belom izin sama "yang punya daerah situ", tiba-tiba perizinan lo dianggap salah. Ya, ini kasus FBR beberapa bulan lalu.

Menurut gua, gua cukup up to date, in my own way. Ya. Kalo diajak ngomong soal berita, gua sedikit-sedikit mah ngerti, bahkan bisa bales. Maksudnya bisa diajak ngobrol soal berita. Gitu.

Kadang tinggal di negara yang orang bilang berkembang tapi perkembangannya gak terlalu terlihat itu susah. Ambil contoh bidang transportasi. Banyak proyek yang bikin rakyat excited, tapi ke siniinnya malah bikin bosen karena kelamaan nunggu.

Suka mengkritisi bukan berarti menolak untuk dikritisi. Gua suka bahkan sangat suka untuk mendapat kritikan. Karena menurut gua itu hak eksklusif untuk seseorang yang suka mengkritisi sesuatu. Ya, biarpun kadang kritikan itu datang dengan atau tanpa pertanggung jawaban.

Gua tinggal di Depok, kurang lebih 11 tahun. Gua SMA di Bogor, kurang lebih 3 tahun. Dan akhir-akhir ini gua sering ke Jakarta, bukan buat jadi anak gaul, gua kerja di daerah Jak-Bar. Untuk orang seperti gua yang mengharuskan naik transportasi umum, gua paham banget kalo yang namanya udah macet.

Sebulan lalu gua buat pertama kalinya ke Jakarta via Bus. Sambil nunggu bus, gua mampir ke warkop di dalem terminal. Ya karena iseng gua jadi ngobrol sama supir bus.

Tapi entah kenapa ini malah jadi obrolan satu arah, dia terus yang cerita. Gua cuma manggut sambil bilang, "iya bener tuh be'".

Dia ngeluhin soal BBG, katanya BBG itu gak efektif.

"Ya, gua sih sebagai supir oke-oke aja kalo bis yang gua "tarik" disubsidi buat pindah dari BBM ke BBG. Masalahnya gini, dek. SPBU BBG itu gak merata, nah itu kan lucu menurut kita para supir. Terus, biaya ganti mesin dari BBM ke BBG itu gak murah. Mesin aja 15 juta, trus biaya pasang 5 juta. Itu narik sebulan juga belom tentu kekejar, dek."

Tapi yang gua salut. Babeh ini gak cuma ngeluhin masalahnya. Dia ngasih poin-poin solusi. Ini menurut gua cukup out standing sih. Ternyata ga semua supir isinya orang-orang tolol yang ngejar setoran.

"Ya kalo mau enak sih gini. Itu biaya ganti mesin disubsidi, gausah semuanya, 60:40-lah. Nah trus SPBU-SPBU itu udah nyediain BBG semua. Itu kalo mau enak. Lagian sekarang ini yang nikmatin premiun siapa? Ya orang-orang yang pake mobil pribadi, dek. Kan premium itu harusnya buat kita, supir angkutan gini."

Terus gua langsung kagum, mungkin karena gua gatau masalah BBG ini, mungkin juga karena gua baru tau ternyata supir angkutan enak juga diajak nongkrong.

"Dek. Nanti kalo adek udah pinter, udah kaya, trus masuk parlemen. Jangan kebanyakan korupsi, dikit aja."

Itu kata-kata babeh supir bus sebelum gua berangkat ke Jakarta.

Bener sih, kalo mau korupsi ya sedikit aja. Sedikit korupsi dari anggaran yang dikasih pemerintah itu gak sedikit soalnya.

Itu contoh nyata dari seorang supir bus, yang ternyata masih peduli dengan bangsa ini. Memang aspirasinya terdengar kasar di kalangan pejabat, tapi ya memang itu kenyataannya.

Gua suka mengeluhkan ini itu tentang bangsa ini, gua suka mengkritik pemerintahan bangsa ini, bahkan gua suka mencaci serta memaki pemerintahan bangsa ini. Tapi akhirnya gua sadar, kebanyakan omongan gua cuma keluhan tanpa solusi. Miris ya, bahkan babeh supir bus aja bisa memaparkan solusinya.

Satu hal. Tugas rakyat itu mengawasi pemerintahan. Kalau dirasa pemerintahan telah melenceng, kita bebas menyatakan pendapat. Tenang, ini bukan era orde baru, menyatakan pendapat tidak membuat hidup kalian berakhir di bui.

Maka dari itu, selagi kita masih jadi rakyat. Awasilah pemerintahan ini dengan baik.

Beraspirasilah.

Menjadi kritislah.

Kritiklah.

Hinalah, kalau memang layak dihina.

Mencacilah.

Karena itu hak kita, sebagai rakyat.

Dari seseorang yang bukan menteri, Kevin Jordanus.

Wednesday, July 1, 2015

Love Wins or Love Sins

Ada 2 hal yang paling gua ga suka dari orang-orang. Pertama, sok kritis tapi gapernah nge-research. Kedua, kritis tapi cuma ngomong. Buat gua, orang-orang kayak gitu otaknya gaada, bahasa kerennya brainless.

Kurang lebih seminggu yang lalu U.S.A melegalkan perkawinan sesama jenis. Gua sama sekali ga kepikiran buat speak-up kayak gini, karena kalo gua udah ngomong dan nge-tai-tai-in orang artinya gua gabisa nge-tai-tai-in mereka lagi. Karena pada dasarnya gua suka banget ngetawain orang-orang yang otaknya dikit.

Banyak komentar yang langsung bermunculan dan tentu layak diketawain. Salah satunya dari twitter. Gua ga paham sama orang-orang yang langsung argumen tanpa dipikirin lagi ya kalo emang gabisa dipikirin sendiri, bawa aja argumen lo ke forum debat atau ajak temen lo yang lo rasa cukup paham masalahnya buat tukar pendapat. Dari pada lo ngeluarin argumen mentah.

Homo seksual, kalo ditinjau dari etimologinya; homo: satu, sama, tidak berlainan. Seksual: birahi, nafsu. Jadi homo seksual itu gangguan psikis dimana penderitanya menyukai sesama jenis. Berlaku buat laki-laki (gay) dan perempuan (lesbian).

Topik ini sempet gua omongin di forum, ga sengaja ikutan sih.

Kalo ditanya gay marriage ini salah atau ngga, ya jelas nggak. Tapi inget, nggak salahnya ya di U.S.A gak salah ya karena di sana udah legal. Kalo ditanya di Indonesia... ya salah. Karena belum ada hukum yang mengatur tentang kelegalan pernikahan sesama jenis.

Kemudian, yang paling umum. Dosa gak? Jelas dosa. Di keyakinan yang gua yakinin sih singkatnya gini "God made Adam and Eve, not Adam and Steve." gitu. Ngerti kan?

Satu lagi, perintah Tuhan saat nyiptain adam dan hawa salah satunya kurang lebih gini: "... beranak cucu dan penuhilah bumi.". Gimana caranya beranak cucu kalo homoseks? Karena secara biologis pasangan penis ya vagina. Uhm terlalu vulgar ya? Yaudah. Pasangan sperma ya sel telur. Dan lagipula, sejauh ini gua belom pernah denger atau baca hubungan homoseks berbuah anak.

Untuk yang pro sama pernikahan sesama jenis dengan dasar hukum dan gangguan psikis, it's ok. Case close with you, guys.

Untuk yang kontra dengan dasar nas-nas yang ada di kitab suci. Apa tindakan lo selanjutnya? Apa udah cukup dengan lo speak-up? Biji kuda. Makan tuh omongan. Banyak kok orang-orang homo seks di tempat ibadah, apa lo bakal nyuruh mereka berhenti dateng ke tempat ibadah? Atau lo bakal nyoba ngerehab mereka?

Daripada lo bikin akun-akun yang sok official dan sangat memotivasi dengan kata-kata indah nan suci di line, mending lo ngerehab mereka. Dengan apa? Dengan coba buat komunitas yang membangun dan menyadarkan mereka.

Ga harus komunitas yang rohani banget, kok. Komunitas biasa aja, tapi yang gendernya lengkap, ada cewe ada cowo,  dan yang bisa buat mereka nyaman, bukan nyaman dengan kelaianan orientasi seksualnya tapi nyaman karena gaada penolakan tentang orientasi seksualnya.

Ya semoga sih gaada orang-orang dengan mindset, "uh, gua gaboleh temenan sama homoseks nih. Haram haram.". Karena terkadang kita butuh mereka lho. Terkadang aja.

---

Sampai kapanpun dunia dan pengetahuannya akan selalu bertolak belakang dengan agama dan segala pengertiannya.

Dalam ngambil kesimpulan, coba ambil dari 2 perspektif atau lebih. Tapi dalam ngambil keputusan, pastikan lo cuma ngambil dari satu perspektif.

Gua untuk urusan pernikahan sesama jenis, jelas gua kontra. Kontra tanpa bermaksud mengucilkan mereka dari masyarakat. Karena kontra gak harus menolak secara vulgar kan? Ya.

Lagipula, selain gua masih jadi pendosa , siapa gua sampe gua menolak mereka karena orientasi seksual mereka. Menteri juga bukan. Lagian, yang Tuhan benci itu dosa, bukan pendosa.

Karena saat lo ngambil perspektif, balik lagi perspektif siapa yang lo ambil. Perspektif Tuhan atau perspektif dunia. Karena gaada perspektif Tuhan yang kedunia-duniaan dan sebaliknya.

Best regards, Kevin Jordanus.

Editorial credit: Leonel Steven & David Renato

Monday, June 22, 2015

Unending Love

Gua pernah sayang banget sama orang, pernah. Rasanya dunia cuma milik gua, dia, dan dunia dia. Soalnya kalo bawa dunia gua, bakal rusak. Oh gua kalo sayang sama orang gapernah setengah-setengah, soalnya kalo masuknya cuma setengah gaenak. Ehm... ini lagi ngomong suap-suapan kan?

Sampe akhirnya emang udah dirasa gabisa dilanjutin lagi, yaudah. Selesai.

Singkat banget ya ceritanya, tapi itu dulu, cerita cinta anak sma. Yang kalo ngedate masih ngumpulin uang jajan dulu. Yang kalo ngobrol di depan ruang kelas.

Tapi, rasanya gua punya satu sosok yang cintanya ga bisa selesai. Satu sosok yang cinta-Nya cocok dilabelin unending love. Ya, the one and only, Yesus. Iya Yesus yang mokatnya disalib bugil, trus komuknya udah ga berbentuk pas disalib. Iya, Yesus yang itu.

Maksud gua, setelah berbagai macem dosa yang gua udah lakuin. He still love me. Bisa dilihat dari hidup gua yang ga terlalu susah buat pendosa. Mungkin lo ngerasain hal yang sama.

As a sinner, hidup lo gaterlalu buruk. Bahkan terbilang enak. Iya gak?

Gua bukan mau nyadarin lo kalo ternyata lo pendosa, bukan. Gua bukan orang kudus. Bukan bagian gua ngadarin lo kayak gitu. Gua cuma mau bilang, ada kok satu sosok yang sayangnya ga bakal abis buat lo.

Jadi, ketika masalah dateng. Cobaan dateng. Lo putus sama pacar. Lo kecelakaan. Lo kena penyakit kronis seperti kantong kering. Coba dengan sedikit kerendahan hati, iya dikit aja. Coba lo cek lagi, cobaan yang lo dapet emang udah bisa bayar dosa-dosa lo?

Coba pikir sejenak. Upah dosa adalah maut, kalo cara mati lo belom aneh-aneh berarti Dia masih sayang sama lo. Gitu. Sesederhana itu cinta-Nya bertindak.

Sekali lagi, gua bukan orang kudus. Kalo mau beber-beberan masalah hidup sama gua, ayo sini. Tapi gua inget, gua pendosa, rasa-rasanya gak sopan juga ngeluhin masalah hidup. Ga sebanding sama dosa yang udah gua pernah bikin.

Suatu hari, kalo gua ketemu Yesus. Gua dengan bangga bilang, "cobaan yang Lo kasih, belom setimpal sama dosa gua. Lo yakin cuma ngasih gua cobaan kayak gini?"

---

"One thing I know. I found all I need, in Your unending love." -Hillsong, Unending Love.

Salam hangat dari seorang yang berdosa, Kevin Jordanus.

Tuesday, June 16, 2015

Kapan Mampir?

It's been a long time since you came here. How are you, God?

Tampaknya dunia ini ngga berjalan seperti keinginanMu deh. Dunia ini sudah melenceng terlalu jauh. Eh tunggu, apa mungkin itu keinginanMu?

Banyak orang yang menulis. Katanya mendapat ilham dariMu. Mulai dari Musa sampai orang-orang yang mengaku Kamu ajak ke surga.

Ya aku sih ga mikirin yang kayak gitu. Toh bukan urusanku juga. Iyakan?

Dunia ini kacau, menurutku sih.

Lihat saja, perang di mana-mana, orang-orang yang dicap buruk oleh masyarakat malah makin menjadi, ekonomi masyarakat dunia tidak stabil. Kalau menurutMu itu tidak cukup kacau sih, gapapa. Kan Kamu Tuhan. Kamu yang paling bener, uhm... paling bener setelah perempuan yang lagi menstruasi. Ya.

Jadi, bagaimana kabar Mu, kawan lama?

Apa Kamu sudah menjadwalkan akan mampir ke dunia yang kacau ini? Atau malahan Kamu sedang sibuk? Mencoba merapihkan kekacauan yang ciptaanMu buat? Kalau iya, cepat rapihkanlah, banyak orang mulai muak. Muak terhadap sesamanya. Dan ga sedikit orang yang mulai muak terhadapMu, malahan mereka meragukan keberadaanMu. Duh. Sabar ya, Kawan.

Sebenarnya aku sudah tidak sabar ingin bertemu denganMu, kawan. Tapi suruhanMu itu yang Kamu beri nama Maut, lama sekali menjemputku. Kamu sudah berikan alamat yang benar kan? Semoga saja dia tidak nyasar ya, Kawan.

Di sana aman? Di surga maksudku, apa di sana aman? Soalnya kalau di sini, yang diberi keamanan cuma beberapa orang, dan sialnya lagi orang yang diberi keamanan di sini adalah orang-orang bangsat. Duh, aku sudah muak, Kawan.

Yah, semoga Kamu cepat mampir ke sini. Nanti kalau Kamu sudah sampai, bolehlah Kamu telfon aku. Nanti akan aku berikan alamatku, apa mau aku jemput saja? Biar nanti Kamu bisa rasakan betapa macetnya kota tempatku tinggal.

Nanti kalau Kamu sudah mampir, akan aku traktir. Kau tinggal pilih saja. Mau 14045 atau 14022.

Saturday, June 13, 2015

Untuk Seseorang Yang Telah Tiada

Untuk seseorang yang telah tiada, akong.

Sudah sekitar 17 tahun, akong gak di sini, gak di bumi ini. Gimana kabarnya? Baik?

Apa di sana Tuhan memberi uang saku untuk sekadar membeli kopi dan rokok yang jadi kesukaanmu di sini? Atau malah Dia yang mentraktirmu dua hal kesukaanmu itu?

Sekitar 17 tahun juga, 2 dari 4 anakmu yang laki-laki berhenti merokok. Kata mereka, rokoklah yang membuatmu meninggal. Padahal memang ajal yang sudah menjemputmu kan?

Di sini, saya kesepian, kong. Gaada yang ajak keliling jakarta tiap hari sabtu. Gaada juga yang ngajarin saya gambar arsitektur yang dulu akong tekuni. Atau sekedar minum teh bareng tiap sore setelah akong balik ngantor. Tapi gapapa, akong masih bisa melanjutkan hal-hal tersebut bersama-Nya kan? Apa Dia suka akong ajari gambar?

Sekarang saya sudah hampir 18 tahun. Sekarang saya sudah sedikit-sedikit cari kerja, saya juga sudah kenal rokok yang kata anak-anakmu jadi sebab kematianmu, saya juga suka gambar dan minum kopi. Akong bangga kan saya seperti itu? Saya juga bangga kok.

Ah, daritadi hanya saya yang cerita.

Jadi, bagaimana rasanya meninggalkan bumi? Apa ramai di tempatmu yang sekarang? Apa banyak lansia lansia di tempatmu yang suka gambar dan minum kopi? Apa kau kesepian? Kalau akong kesepian, ajak saja Tuhan berjalan-jalan keliling komplek. Siapa tau Dia suka.

Eh ya, kong. Apa akong sudah beli paket data? Kan saya tulis ini via blog. Kalau gaada paket data mana bisa akong akses blog saya. Ya kalau tidak ada, pergi saja ke rumah kawanmu di sana, siapa tau ada yang pasang wi-fi.

Semoga di sana menyenangkan ya. Saya rindu sama akong, tapi belum punya nyali untuk nyusul. Jadi sabar ya, tunggu cucu-mu ini dijemput ajal. Nanti kita bisa merokok dan minum kopi sembari menggambar.

Salam hangat, cucu-mu. Kevin Jordanus.

Wednesday, June 3, 2015

Prologue

According to Ancient Mythology of Dőlf, there are 3 worlds which is connecting to each others, The Creator's World, God's Realm, and Human's World.

The Creator created Humans and Gods with the exact amount of power, yet different appeareances. The Gods were created with glorious appearances, while humans were created with 2 faces, 4 legs, and 4 arms, along with a pair of wings.

The people of Dőlf believe that, there are 4 Gods guarding the cardinal direction of the world. The North, is being watched by Bacń, known as the God of Stars. The East, is being watched by the Moon God, Galachluz. Aurialus, the Earth God, are watching the South. Whilst the West are being watched by Cosures, the God of Sun.

The gods were afraid by the possibilty for humans to threaten them, so the gods suddenly, split humans to two. And that's why humans become what they are now.

"To beat us, humans need to find their other parts, then, one of these two parts must sacrifice to combine, and for the other part to live on", are the words before the gods split humans.

The people of Dőlf believe, one day, there will be a human who is able to find his/her other part, and get revenge to the gods, who made humans like this.

---

Translation check: Galih P. Muridan

Friday, May 29, 2015

Jogjakarta.

Beberapa minggu lalu gua berangkat ke DIY bareng temen gua, ferdy. Gua gaakan ngelabelin diri gua traveler dulu, karena ini trip pertama gua. Selain ini trip pertama gua, kasian orang-orang yang udah sering travel jauh-jauh tapi kalah pamor sama anak baru yang "sedikit eksis."

Jujur, seperti yang kalian tau, ada yang namanya beginer luck, kondisi dimana hoki lu orang jadi tinggi karena baru ngelakuin itu pertama kali dan ini berlaku buat gua dan ferdy. Maksud gua, bukan berarti perjalanan gua ke DIY lancar jaya tapi banyak yang bantu.

Duduk 8 jam di kereta gapernah enak, apalagi kereta ekonomi. Banyak penumpang yang "seenaknya", tapi gua maklum toh yang naek otaknya banyak yang ekonomis juga. Dan selama 8 jam itu juga gua dan ferdy nentuin destinasi kita sesampainya di DIY. Pilihan pertama jatuh di padukuhan Dawung, banyak memori yang langsung muncul tiba-tiba. Tempat yang cukup nyaman rasanya untuk pulang.

Sampai di Stasiun Lempuyangan pukul 06.55 gua langsung bergegas nyari halte trans jogja terdekat dari Lempuyangan. Halte trans jogja terdekat ternyata ada di malioboro. Dari halte trans jogja, gua dan ferdy naik trayek 3a, trayek itu berakhir di terminal Giwangan. Dari terminal Giwangan lanjut naik mini bus dengan trayek Jogja-Wonosari.

Sambipitu, pertigaan dengan arah Pathuk-Gedangsari-Wonosari. Akhirnya tinggal sedikit lagi untuk sampai di Dawung. Melanjutkan perjalanan dengan ojek, akhirnya gua dan ferdy sampai di pendopo yang gak asing buat kita berdua. Pendopo yang di depannya ada tugu bertuliskan "Pakudukan Dawung, Desa Serut, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gn.Kidul". Wah, sudah sampai di rumah ternyata.

Sedikit berbeda rasanya, lebih sejuk, lebih hijau. Dulu jagung, tembakau dan tebu. Sekarang hampir seluruhnya padi. Sedikit berbeda bukan berarti salah tujuan. Ini masih rumah yang sama seperti yang gua tempati waktu PKB.

Gua langsung ke rumah orang tua asuh gua pas PKB, seperti kebanyakan orang pas pulang ke rumah setelah sekian lama ga pulang, gua ngobrol banyak sama orang tua asuh gua. Kind of chit-chat talk sih, tapi gapapa, toh emang obrolan-obrolan ringan yang rasanya pas.

Satu malam di Dawung rasanya ga cukup, tapi gapapa yang penting janji untuk dateng silaturahmi udah gua dan ferdy tepati. Janji yang waktu itu diucapin sebelum PKB selesai. Karena laki-laki itu menepati janjinya, bukan begitu, wahai kalian yang ngakunya laki-laki tulen?

Destinasi selanjutnya Pantai Parangtritis, sebelah selatan DIY. Seperti sebelumnya, gua dan ferdy ke terminal Giwangan sebelum naik mini bus dengan trayek jogja-parangtritis. Kurang lebih 45 menit waktu yang ditempuh dari Giwangan ke Parangtritis.

Air laut yang biru jernih ditemani dengan pasir pantai hitam. Pas.

Ga mau berlama-lama di pantai, sekitar jam 4 gua dan ferdy udah di terminal Giwangan lagi. Berhubung belum dapet tempat bermalam, jadilah kita nyari losmen.

75 ribu untuk satu malam, ga terlalu buruk, lagian tempatnya gak jauh dari malioboro, tepatnya di jalan. Pasar Kembang. Jam 7 malam, rasanya waktu yang pas untuk menikmati malioboro.

Untuk orang yang jarang ke malioboro, tentu ini masih jadi sesuatu yang wah buat gua. Apalagi sebelumnya gua selalu ke malioboro pake embel-embel sekolah.

Makan malem di angkringan di sekitar Tugu, beda banget sama makan angkringan di Bogor atau Depok. Ya beda aja suasananya. Gitu.

Akhirnya balik lagi ke losmen. Akhirnya besok udah harus pulang ke Depok. Gapapa, janji udah ditepati, pantai udah didatengi, dan suasana malem di Jogjakarta udah diniknati juga. Gua udah gaada utang lagi di Jogjakarta.

---

Sekali lagi, 8 jam di kereta ekonomi yang bernama progo. Akhirnya pukul 23.30 gua sampe di stasiun Ps. Senen. Bermalam di stasiun gapernah jadi hal yang buruk untuk laki-laki 'kan?

Saturday, March 28, 2015

High school; end.

Akhirnya beberapa hari lagi ujian nasional, dan beberapa hari setelahnya seluruh siswa kelas 12 bakal tau mereka bakal lulus atau ngga, gua berharap seenggaknya angkatan gua lulus 100%, no matter what way they use, gua cuma berharap angkatan gua lulus 100%.

Akhirnya juga bentar lagi, gua bakal lepas seragam putih abu-abu. Gua bakal lepas sama buku merah, bakal lepas sama embel-embel "kamu harus menjaga nama baik sekolah ya!", gua bakal lepas sama semuanya. Iya, setelah lulus gua gaakan yang namanya terbebani embel-embel yang mengatasnamakan sekolah. Finally.

Banyak cerita di SMA ini, banyak banget. Mulai dari cabut MOPDB, dipilih jadi panitia BM CUP IX, jadi kandidat ketua OSIS, mulai kenal sama yang namanya tongkrongan, putus sama pacar yang akhirnya gua tau that she did the best, jadi ketua BM CUP X, ngurusin MOPDB dan berharap gaada yang cabut kayak gua, pergi jauh buat PKB, finally found someone that i think i will make it last, memelopori TionghoaBrothers, dan akhirnya we just broke up, broke up with someone that i think that she is my last, tsah.

Tapi serius, kayaknya emang cerita-cerita kayak gitu yang bikin susah lupa sama SMA.

Sejujurnya, pengalaman paling seru ya pas jadi ketua BM CUP X. Mengkordinir 53 kepala yang gua gatau gimana pandangan mereka tentang gua juga sebaliknya.

Ngelewatin beberapa puluh hari persiapan yang nyaris gaada peningkatan itu emang bikin stress, untung ada beberapa panitia yang otaknya geser, jadi gua ga pusing banget.

H-1 acara, beberapa panitia nginep di GOR. Makan nasi goreng trus pergi ke depan mancur cuma buat makan martabak jam 2 subuh. Kemudian balik ke rumah masing-masing cuma buat mandi. Gila.

H-1 closing BM CUP X masih ada aja yang ngajakin buat ke Anyer. Dan gilanya lagi, kita bener-bener pergi ke Anyer, ber-7, 3 motor.1 motor ada yang tarik tiga. Pas sampe Anyer cuma makan indomie, ngopi, ngerokok. Trus langsung balik lagi ke Bogor buat persiapan closing BM CUP X.

Tapi, yang namanya kerja keras emang ga bakal bikin kecewa. Biarpun banyak cek-cok entah eksternal, entah internal. Panitia ini bisa bikin gua cukup puas, cukup bikin gua bangga jadi ketua mereka, it was my pleasure lho.

Dan yang mungkin paling sulit di lupain kalo kata chrisye mah kisah kasih di sekolah. Eh, sekolah apa SMA ya? Ya pokoknya gitu.
---

Sebenernya, gua pikir gua gabakal pacaran lagi. Gua mikir, toh buat apaansi, toh belum wayahnya, toh, toh, toh...

She just change my p.o.v, gatau kenapa, awalnya sih pas ngeliat cewe ini ya biasa aja. Dia smp di RP, paling dia masuk BM gara-gara ga keterima di RP. udah. Gitu doang. Tapi, gatau kenapa, kok kayaknya cewe ini beda ya, kok kayaknya i can fit her perfectly, ah tapi yaudahlah. Gua cuma tertarik doang.

Abis beberapa hari selesai MOPDB gua mikir, ah masa iya gua cuma tertarik, kalo tertarik mah gabakal kayak gini, gabakal curi-curi pandang, gabakal nyariin ini anak kemana, gabakal ngelakuin apa yang orang lakuin pas mau deketin cewe.

Setelah tanya kontaknya dia ke temen gua, gua dapet deh kontaknya. Dan iya, gua ngedeketin dia.

i got her, we love each other, we think we can make it last, we've been together through bad and good times, then we just broke up. And i realize that i can fit her perfectly, but i won't.

---

Dan akhirnya, yang namanya cerita ya cuma tinggal cerita. Yang namanya kenangan ya cuma jadi kenangan. Gajuga sih, tapi ya gitu. You can rewind the memories, but you can't living on that. All you need is just start over.

Semoga, cerita-cerita di SMA ini bisa jadi cerita yang bagus buat diceritain ke siapapun nanti.

Selamat belajar keras, selamat menghitung hari buat UN, semoga lulus bareng ya, BM25! see you on top, pals!

Monday, January 12, 2015

Globalisasi dan produk dalam negeri.

Salam sejahtera untuk para kolega yang mengunjungi blog saya, karena dengan kasih karunia-Nya lah, kita bisa berkumpul disini dengan dengan keadaan yang baik dan tidak kekurangan suatu apapun. Pada kesempatan yang berbahagia ini saya akan mengangkat tema tentang Globalisasi dan produk dalam negeri. Seperti yang kita tahu, globalisasi bisa diartikan sebagai proses penyebaran informasi baik berupa informasi, pemikiran, gaya hidup maupun teknologi secara mendunia. Salah satu indikasi suatu negara dapat menyikapi globalisasi dengan baik adalah jika perekonomiannya juga baik.

Dewasa ini, perkembangan ekonomi menjadi salah satu indikator yang menentukan suatu negara siap atau tidak masuk dalam era globalisasi. Karena jika suatu negara memiliki perekonomian yang baik, maka, dalam beberapa kondisi negara tersebut bisa dikatakan siap untuk masuk dalam era globalisasi. Perekonomian yang baik juga identik dengan rakyatnya yang mencintai produk dalam negeri.

Dampak globalisasi tidak lain seperti dua sisi koin, kepala dan ekor. Dalam globalisasi, dampak positif dan negatif. Dampak positif globalisasi antara lain, komunikasi yang semakin mudah dan cepat, berkembangnya IPTEK, serta meningkatnya taraf hidup. Dan dampak negatifnya antara lain informasi yang tak terkendali, budaya kebarat-baratan, serta kesenjangan sosial.

Sebagai warga Indonesia yang baik marilah kita menyikapi globalisasi ini dengan baik. Jangan sampai era globalisasi ini menggerus budaya dan tradisi kita sendiri.

Eksistensi produk dalan negeri ini memang menunjukan perkembangan ke arah yang lebih baik, ke arah yang sama-sama bangsa ini inginkan. Walaupun memang tidak bisa kita pungkiri belum semua brand bisa bersaing di pasar internasional, tapi ingat TKW dari Indonesia selalu menjadi pilihan utama di pasar internasional.

Kata mereka, produk indonesia tidak sebanding harga dan kualitasnya. Tapi mereka tetap merogoh kocek untuk membeli barang produkan eiger yang notabene adalah produk dalam negeri.

Kata mereka, produk indonesia tidak menarik. Tapi mereka tidak pernah sadar berapa banyak turis asing yang datang ke situs-situs candi di Indonesia, candi juga produk dalam negeri 'kan?

Pada akhirnya, sebagai bangsa yang sadar serta peduli terhadap budaya dan tradisinya, marilah kita mulai mencintai produk dalam negeri. Mulai dari hal yang sederhana saja seperti memilih makanan dan cara berpakaian sampai hal yang cukup sulit, mencari pendamping hidup marilah kita memilih produk-produk dalam negeri saja.

Untuk Indonesia yang lebih baik, untuk Indonesia yang lebih siap untuk menghadapi era globalisasi, dan juga untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Marilah kita mencintai produk-produk dalam negeri.

Sekian yang bisa saya sampaikan, mohon maaf apabila ada kata-kata, kalimat, atau bahkan paragraf yang tidak berkenan di hati para kolega sekalian, karena sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Tuhan YME. Saya Kevin Jordanus, terimakasih dan salam sejahtera.